Kontroversi UU Omnibus Law Cipta Kerja -

Kontroversi UU Omnibus Law Cipta Kerja


maulanayusuf.com
Aksi Massa di Depan Gedung DPR RI, Kamis (8/10). (Dok. LPM Industria)

lpmindustria.com - UU Cipta Kerja telah disahkan pada Senin (5/10/2020) dalam Rapat Paripurna ke-7 pada masa persidangan I tahun 2020-2021. Hal ini menuai banyak kontroversi karena dinilai mengabaikan hak buruh dan hak asasi manusia.

Saat ini, RUU Cipta Kerja yang baru saja disahkan sedang menjadi perbincangan hangat. Pasalnya, beberapa poin yang ada dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) ini dinilai tidak berpihak kepada buruh. Dalam tulisan yang dirilis oleh Detik.com, Nining Elitos selaku Ketua Umum dari Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) mengaku kecewa kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) lantaran UU Cipta Kerja cacat prosedural dan sangat bertentangan dengan konstitusi negara.

Dimuat dalam Kompas.com, salah satu poin yang dianggap memberatkan buruh adalah UU Cipta Kerja Pasal 59. UU tersebut menghapus aturan mengenai jangka waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau pekerja kontrak.

Selanjutnya, dalam Pasal 77 hanya ditetapkan sanksi administratif bagi pengusaha yang melakukan pelanggaran. "Pemerintah pusat dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dalam hal Pemerintah Pusat menganggap Pemerintah Daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup," tulis RUU Cipta Kerja Pasal 77. Hal ini membuat pengusaha yang melakukan kesalahan dan merugikan pihak lain tidak bisa lagi dikenakan sanksi pidana, salah satunya dalam bidang pengolahan dan perlidungan lingkungan hidup.

Selain hal diatas, UU Ketenagakerjaan yang sebelumnya mengatur hari libur buruh dihilangkan dan diganti dengan Pasal 79 UU Cipta Kerja. UU ini menghapus kewajiban perusahaan memberikan cuti dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku kelipatan masa kerja enam tahun.

Di Pasal 79 ini pula, pekerja mendapatkan hak waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan (Pasal 79 ayat (2) huruf (b)), pemberian cuti tahunan paling sedikit dua belas hari kerja setelah buruh bekerja selama dua belas bulan secara terus menerus (Pasal 79 ayat(3)), pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, perusahaan atau perjanjian kerja bersama (Pasal 79 ayat (4)), dan perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerjasama (pasal 79 ayat (5)).

Berikutnya, pada Pasal 88 hanya memiliki tujuh kebijakan pengupahan pekerja yang sebelumnya berjumlah sebelas dalam UU Ketenagakerjaan. Artinya, ada pemangkasan kebijakan yang berlaku sebelumnya. Kebijakan yang dihapus antara lain, upah karena menjalankan waktu istirahat kerjanya, upah untuk membayar pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

Kemudian, pada Pasal 91, sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan dihapus lewat UU Cipta Keja. Terakhir, dalam Pasal 169, UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja atau buruh yang mengajukan permohonan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam artikel Tirto.id mengatakan bahwa pengesahan RUU Cipta Kerja ini menunjukan kurangnya komitmen pemerintah dalam menegakkan HAM. "Mereka yang menentang karena substansi Ciptaker dan prosedur penyusunan UU baru ini sama sekali tidak menjadi pertimbangan para pembuat kebijakan. Nampaknya, anggota dewan dan pemerintah lebih memilih untuk mendengar kelompok kecil yang diuntungkan oleh aturan ini. Sementara itu, hak jutaan pekerja kini terancam,” jelasnya.

Beliau juga menegaskan akan mendesak anggota DPR untuk merevisi aturan-aturan bermasalah dalam UU Cipta Kerja. “HAM harus menjadi prioritas dalam setiap pengambilan keputusan. Pemerintah juga harus melindungi dan menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi dari pihak yang dirugikan atas pengesahan Ciptaker ini. Pandemi Covid-19 tidak boleh dijadikan alasan untuk melindungi hak mereka karena bersuara adalah satu-satunya jalan untuk didengar bagi mereka yang haknya dirampas,” tambahnya.

Kevin Kahlil Akbar

Tag:    dpr  |  omnibus-law  |  peristiwa  |  politik  |  ruu-cipta-kerja  |  


BERITA TERKAIT

TULIS KOMENTAR

Top