lpmindustria.com - Maskulinitas dipahami sebagai patokan sosial bagaimana seorang pria bertindak. Namun, stigma yang salah dalam masyarkat membuat pembatasan karakteristik dalam sosialisasi peran gender, sehingga lahirlah istilah toxic masculinity yang menimbulkan beberapa dampak negatif.
Toxic masculinity merupakan norma sosial yang menuntut seorang pria haruslah kuat, agresif, dan dominan. Dimuat dalam independent.co.uk, penelitian pertama mengenai toxic masculinity pada tahun 1990-an oleh pakar psikologis bernama Shepherd Bliss mendapati fakta bahwa toxic masculinity dapat merusak hidup seorang pria.
Terkait dengan hal diatas, terdapat beberapa kasus yang dipicu dari keberadaan toxic masculinity, misalnya bunuh diri. Pada portal berita ons.gov.uk, data Office for National Statistics menyebutkan bahwa setidaknya ada 4.382 kasus bunuh diri pada pria di tahun 2017. Hal tersebut menunjukkan bahwa dari seratus ribu orang pria, 15.5% di antaranya telah atau berniat bunuh diri. Selain itu, kasus kenakalan remaja dan kriminalitas, seperti bullying, mabuk-mabukan, pencurian, penyalahgunaan narkoba, balap liar, dan tawuran juga turut menjadi akibat norma itu sendiri.
Beberapa kasus di atas disebabkan oleh kesalahan pada sosialisasi peran gender sejak dini. Seperti yang dilansir dari WhiteboardJournal.com dalam wawancaranya bersama psikolog Inez Kristanti bahwa toxic masculinity lahir ketika seorang anak pria merasa dibatasi secara psikologis dalam penerapan peran gender.
Jika dilihat melalui sisi pelaku pada kasus-kasus kekerasan dalam pacaran, rumah tangga, atau apapun yang berbasis gender, memang ada sosialisasi maskulinitas yang begitu kuat. Namun saking kuatnya, sosialisasi ini justru malah menekan orang tersebut. Oleh sebab itu, orang tersebut akan merasa tersinggung atau marah dan cara yang digunakan untuk mengekspresikannya adalah dengan marah.
Ketika seorang pria tidak memenuhi standar maskulinitas, ia akan dianggap lemah dan rentan menerima ejekan yang tentunya dapat memengaruhi kondisi mental pria tersebut. Sebagai contoh, “Pria harus menjadi tulang punggung keluarga, tidak boleh menangis, harus tegas dan jadi pemimpin, serta jangan mau dipimpin wanita”. Tuntutan-tuntutan semacam itu membuat pria lebih memilih untuk menekan perasaan mereka daripada memproses emosinya dengan cara yang benar.
Dengan demikian, kejahatan dan kenakalan remaja bisa saja terjadi karena pribadi yang sejak dini dituntut untuk menjadi maskulin. Contohnya, seseorang merasa dirinya kuat jika menang dalam suatu pertengkaran atau pemikiran seperti pria yang mempunyai sifat feminin berarti lemah dan aneh, sehingga pria tersebut kerap kali dijadikan sasaran bullying. Begitu pula pada kasus mabuk-mabukan, merokok, mencuri, memakai narkoba, balapan liar, dan juga tawuran, pelaku menganggap dirinya keren dan maskulin ketika berani melakukan hal-hal tersebut.
Lebih lanjut, hal ini juga berdampak terhadap tingginya angka kriminalitas, bunuh diri, dan pengidap gangguan mental yang terjadi saat ini. Kemudian, toxic masculinity juga memunculkan kemungkinan terciptanya victim blaming, yaitu ketika pria menjadi korban pelecehan seksual dan tidak berani melawan, ia justru dinilai lemah dan tidak maskulin.
Lalu, toxic masculinity juga berpotensi menimbulkan sifat fragile masculinity, yaitu sifat dimana seorang pria terlalu memaksakan dirinya untuk memenuhi stereotip-stereotip maskulin dan tidak ingin terlihat feminin. Hal ini dapat memicu terjadinya toxic relationship dan KDRT.
Selain sifat tersebut, paham toxic masculinity rupanya mampu menjadi bibit dari sindrom misoginis (baca: kebencian terhadap perempuan) dan homophobia (baca: perilaku dan perasaan negatif terhadap homoseksualitas). Sehingga, toxic masculinity juga bisa merusak kerukunan lingkungan atau negara jika masyarakatnya memanifestasikannya ke dalam hal-hal yang tidak konstruktif. Pada akhirnya akan terbentuk kelompok ekstrem dan radikal berbahaya.
Namun sayangnya, saat ini masih banyak masyarakat yang salah paham ketika ada kampanye atau seminar mengenai toxic masculinity. Padahal, tujuan dari seminar tersebut bukanlah untuk mengkritik pria, tetapi guna menyuarakan tuntutan tidak adil yang selama ini menyudutkan pria. Sebenarnya, paham toxic masculinity sendiri terbentuk dari budaya patriarki yang dampaknya dirasakan oleh kaum laki-laki maupun perempuan.
Oleh karena itu, upaya-upaya, seperti mengedukasi, tidak mengkotak-kotakkan hal-hal feminin atau maskulin, memberi pemahaman tentang pentingnya menyampaikan emosi dengan baik, berhenti mewajarkan lelucon seksisme, dan menghargai orang lain, perlu untuk dilakukan. Hal tersebut dikarenakan baik perempuan maupun laki-laki lahir dengan perbedaan dan keunikannya masing-masing, ada yang manly, lembut, fisiknya kuat atau lemah, agresif, dan pasif. Semua perbedaan itu adalah hal yang normal. Setiap orang dengan gender apapun juga bisa menangis dan merasakan takut, malu, serta sedih karena hal tersebut adalah reaksi alami manusia sebagai makhluk yang memiliki perasaan.
Ramadina