lpmindustria.com - Sampah luar angkasa yang terus bertambah karena perkembangan teknologi melatarbelakangi rencana Jepang untuk membuat satelit berbahan kayu.
Peningkatan penggunaan satelit untuk teknologi komunikasi, televisi, navigasi, dan prakiraan cuaca mengakibatkan makin banyak pula sampah antariksa yang dihasilkan. Pada jurnal “Penanganan Sampah Luar Angkasa dalam Kerangka Hukum Internasional” disebutkan bahwa benda-benda yang telah diluncurkan oleh beberapa negara tidak bisa dibawa kembali ke bumi dalam masa orbit rentang waktu sepuluh tahun, sehingga menjadi satelit nonaktif
Selanjutnya, jurnal tahun 2019 tersebut juga menjelaskan bahwa hal ini mengakibatkan Zona Orbit Rendah atau Low Earth Orbit (LEO) menjadi tempat penumpukan sampah yang mencapai berat enam ribu ton. Selain itu, World Economic Forum (WEF) menyatakan, terdapat hampir 6.000 satelit yang telah memutari bumi dan 60% diantaranya sudah tidak berfungsi.
Dikutip dari artikel muatan teknologi.bisnis.com, sampah antariksa itu dapat mengganggu bahkan merusak satelit yang masih beroperasi. Ukuran sampah yang kecil memiliki energi yang cukup besar untuk menimbulkan kerugian karena kecepatan satelit yang luar biasa. Selain itu, dalam laman tersebut juga disampaikan jika sampah antariksa mampu bergerak dengan laju 7 km/detik atau 25 ribu km/jam. Akibatnya, sampah dengan berat 5 kg memiliki energi yang sebanding dengan sebuah mobil yang bergerak dengan kecepatan 100 km/jam.
Oleh karena itu, isu limbah luar angkasa ini telah dibuatkan prinsip-prinsip dalam Pedoman PBB tentang Mitigasi Sampah Antariksa (A/Res/62/217, 2008) karena dianggap berbahaya, sehingga menjadi permasalahan internasional.
Takao Doi, seorang profesor dari Universitas Kyoto sekaligus astronaut Jepang, mengatakan keresahannya kepada BBC terkait isu tersebut. “Kami sangat prihatin dengan kenyataan bahwa seluruh satelit yang kembali memasuki atmosfer bumi terbakar dan menciptakan partikel kecil alumina yang mengambang di lapisan atmosfer selama bertahun-tahun,” tuturnya.
Dengan demikian, permasalahan ini memotivasi Takao Doi dan rekan-rekannya untuk mengembangkan model satelit baru. “Tahap selanjutnya akan mengembangkan rekayasa satelit, kemudian kami akan membuat model penerbangan,” tambah Prof. Doi yang dikutip dari bbc.com.
Kemudian, artikel muatan bbc.com tersebut juga menuliskan bahwa Sumitomo Forestry, anak perusahaan Sumitomo Group, yang didirikan lebih dari 400 tahun lalu menuturkan bahwa mereka akan mengembangkan material kayu yang sangat rentan pada perubahan suhu dan sinar matahari.
Dalam hal ini, pemanfaatan kayu tidak berdampak buruk. Dimuat pada kompas.com yang dikutip dari Nikkei pada Kamis (24/12/2020), kayu tidak dapat menghalangi gelombang elektromagnetik ataupun medan magnet bumi. Oleh sebab itu, kondisi tersebut membuat sejumlah instrumen dalam satelit dapat diletakkan dengan struktur yang lebih sederhana
Akan tetapi, juru bicara Sumitomo Group menjelaskan kepada BBC jika jenis kayu yang akan digunakan masih menjadi rahasia bagian Penelitian dan Pengembangan perusahaan. Di sisi lain, perusahaan menargetkan bahwa teknologi ini akan rampung pada tahun 2023 nanti.
Affifah Nasrillah