Benak Jojo sedikit menggumpal bersama derasnya hujan di luar pengap bus kota yang ia tumpangi. Bus kota itu masih diam dengan mesin bergemuruh, menunggu penumpang lebih banyak, membuat laki-laki usia tanggung itu bosan lalu iseng-iseng melamun serta melontarkan beberapa pertanyaan singkat yang belum pernah terjawab, salah satunya mengendap beberapa menit.
Mengapa Tuhan tak ciptakan warna berbeda di tiap pasang mata milik insan-Nya?
Ya, sekonyol itu pertanyaannya. Sering dia lihat di film-film impor yang menunjukkan beragam warna di sepasang manik para tokoh dan karakternya. Tapi mengapa di tempatnya bernapas, ia hanya melihat satu warna? Lupakan soal genetik dan hal-hal mengenai fakta ilmiah, yang Jojo ajukan lebih dalam soal itu. Lebih jauh tentang itu.
Benaknya bergumam kesal lagi, “Apa bagusnya warna mata ini?!” keluh Jojo tiap menatap mata orang-orang di sekitar dia. Warna yang ia lihat hanya hitam. Selebihnya jika diteliti lagi, hanya ia temukan warna minuman kesukaan Ayah. Si Jojo hanya ingin merasakan tatapan-tatapan tiap warna manik indah, seperti biru, hijau, bahkan jika bisa, merah muda seperti tokoh anime perempuan kesukaannya.
Kata pujangga yang ia lupa namanya, sepasang mata adalah jendela hati. Cerminan jiwa. Maka, bagaimana orang-orang akan tahu jiwa orang lain jika warnanya saja sama?
Pada pelajaran seni, lelaki itu diajari tentang makna tiap warna. Hitam berarti kematian. Apakah sedangkal itu?
“Kalau sudah besar, jadi anak yang baik ya, Nak,” tutur seorang Ibu dengan suara lembut dan membuatnya menoleh karena penasaran. Terlihat di seberang tempat duduk Jojo, seorang Ibu sedang memangku bayi seraya memperbaiki jarik yang menutupi tubuh ringkih si bayi. Dapat Jojo lihat kasih sayang terpancar, hingga ikut ia rasakan kehangatannya.
Hati Jojo tersentuh semudah itu. Tak kan ada gadis yang percaya bahwa ada laki-laki mempunyai perasaan lembut. Batin Jojo sambil menyeringai. Tak apa, mungkin hal itu malah jadi keuntungan baginya.
“Hiks…” tangisan kecil terdengar di sampingnya. Jojo melirik kecil dan mendapati seorang gadis sebayanya dengan manik yang berkaca-kaca.
“Jangan melihatku!” busik gadis itu dengan nada bergetar, membuat Jojo sedikit terkejut.
“Maaf…” satu kata itu terlontar dari mulut Jojo.
“Aku ingin melarikan diri saja…” busik gadis itu dengan bahu bergetar. Sedikit lebih lama, Jojo memilih untuk diam membiarkan gadis itu menangis
“Umm…. Jangan menangis lagi. Nanti hujannya tidak kunjung reda jika kau tetap menangis,” ucap Jojo ragu, tidak yakin bisa menghentikan tangis gadis itu.
“Eh?” gadis itu berhenti dari pikiran sendunya lantas menatap Jojo dengan kernyit dalam.
“Konon, langit hujan karena ada gadis baik hati yang menangis.” Mungkin gadis itu akan menganggapnya sebagai lelaki bermulut buaya tetapi ia tidak peduli. Julukan itu lebih baik daripada membiarkan seseorang menangis
“Kok bisa?” tanya gadis itu sambil menghapus jejak air matanya. Jojo tak menyangka gadis itu percaya. Namun Jojo hanya bilang,
“Karena langit sangat mencintai gadis baik hati itu. Langit tidak bisa menghibur si gadis baik dengan kemegahan semesta dan teduhnya awan yang ia punya. Karena itu, ia hanya bisa ikut menangis karena merasakan kesedihannya. Makanya, jangan bersedih. Nanti hujannya tidak reda-reda, kasihan ibuku yang menjemur pakaian.”
Gadis itu tertawa kecil sambil menutup mulutnya, “Ternyata masih ada yang mencintaiku…”
“Jangan pernah merasa sendiri. Melarikan diri hanya untuk pengecut,” ucap Jojo, memberi saran dengan tutur pelan karena tidak ingin gadis di sampingnya tersinggung.
“Tapi untuk jadi pengecut perlu keberanian yang besar. Kau tahu?” jawab pemilik mata cantik itu.
Jojo mengangkat bahu, memutuskan untuk tidak berlagak sok bijak lagi. Hal yang terpenting sekarang gadis itu tidak menangis. Telinganya sudah terselamatkan.
Nama gadis itu, Rina.
“Nama yang terlalu mainstream.” Begitu tanggap Jojo membuat Rina menatap kesal.
“Oh ya? Kalau begitu namamu siapa sampai dengan sombongnya bilang begitu?” tanya Rina ketus dan membuat Jojo tersenyum kecil.
“Paijo.” Jawab Jojo sedikit berdusta. Ia hanya ingin sekali lagi melihat manik itu menyipit.
Tawa Rina lepas dan benar, sepasang manik hitam biasanya tenggelam oleh kelopak matanya sendiri membuat beberapa penumpang menoleh sekilas. Rina menutup mulutnya, berusaha menahan tawa. “Namamu seperti nama tetanggaku yang sudah tua dan sering telanjang dada ke sawah.”
Akhirnya bus kota yang mereka tumpangi pun melaju perlahan.
“Terima kasih ya, setidaknya aku lupa pada masalahku.” Rina tersenyum tulus pada Jojo, menampilkan lagi maniknya yang tenggelam itu, membuat Jojo tersihir untuk ikut tersenyum. Rina berdiri karena tujuannya hampir sampai, “Pak, jalan tikus kiri ya!” seru gadis itu pada kernet yang duduk bagian paling belakang bus.
“Terima kasih juga telah menjawab satu pertanyaan kecil yang kusimpan jauh sebelum kita bercakap-cakap,” jawab Jojo ambigu, membuat Rina mengernyit heran. Ia tak paham dengan ucapan Jojo namun buru-buru melangkah mendekati pintu bus karena laju bus kian melambat, tanda tempat yang ingin ia tuju akan sampai.
Rina kemudian turun dengan hati-hati meski benaknya menggema oleh tanya.
Laki-laki itu senang tiada ampun karena menemukan jawaban atas pertanyaannya. Tak henti-hentinya, ia memuji Tuhan atas teka-teki indah yang selama ini tergantung. Ia kini sadar, mata adalah jendela hati. Hati adalah rahasia. Warna pada manik hanya hijab tebal bagi siapa pun agar tak ada yang tahu rahasia-rahasia tersembunyi.
Jojo kini sibuk menatap pemandangan gerimis di luar sana sambil bergumam, “Aku ingin melihat rahasia dan warna-warna itu lagi.”
Penulis: Ramadina Halimatus Sa’diah