Judul buku : Perempuan di Titik Nol
Penulis : Nawal el-Saadawi
Pengantar : Mochtar Lubis
Penerjemah : Amir Sutaarga
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Cetakan ke : 5
Tebal Buku : 176 halaman
Harga Buku : Rp48.000
Di negara berkembang, permasalahan terkait nilai-nilai masyarakat masih menjadi perdebatan. Dalam hal ini kedudukan dan hak-hak wanita, melalui novel yang berjudul Perempuan di Titik Nol, permasalahan tersebut tergambar secara nyata bagaimana budaya patriarki berjamur di kalangan masyarakat.
Perempuan di Titik Nol adalah novel terjemahan dari Mesir, yang ditulis oleh Nawal el-Saadawi. Nawal sendiri ialah seorang dokter dan terkenal sebagai penulis wanita pejuang hak-hak wanita. Ia pernah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Health, salah satu portal majalah di Mesir, namun diberhentikan karena telah menerbitkan karya non-fiksi pertamanya yaitu Woman and Sex.
Sebagai seorang pejuang hak-hak wanita, Nawal tak berhenti sampai di situ, ia tetap menerbitkan karya-karya selanjutnya. Seperti Perempuan di Titik Nol ini, salah satu novelnya yang berhasil masuk ke Indonesia.
Di buku Perempuan di Titik Nol, Nawal menuliskan kisah hidup yang dijalani oleh Firdaus, seorang tahanan di penjara wanita Qanatir yang sedang menunggu hukuman mati sebab telah seorang membunuh laki-laki. Untuk alur ceritanya, Nawal membagi buku menjadi tiga bab. Bab pertama menceritakan tentang perjuangannya agar dapat mewawancarai langsung Firdaus.
Kemudian pada bab dua, Nawal mulai mengisahkan ulang seluruh hal yang diceritakan Firdaus. Pada bab ini, Firdaus bercerita masa kecilnya yang sudah menerima tindakan asusila dari pamannya dan temannya (Muhammadain). Selanjutnya, Firdaus kerap melihat dan mengalami sendiri bahwa laki-laki lebih diutamakan dibanding perempuan.
“Jika salah satu anak perempuannya mati, Ayah menyantap makan malamnya, Ibu akan membasuh kakinya, dan kemudian ia akan pergi tidur, seperti ia lakukan setiap malam. Apabila yang mati itu seorang laki-laki, ia akan memukul Ibu, kemudian makan malam dan merebahkan diri untuk tidur.” (Perempuan di Titik Nol, 26)
Lebih dari itu, akibat dari aturan masyarakat, ia beberapa kali dilarang untuk melakukan sesuatu. Contohnya seperti saat Firdaus meminta ikut bersama pamannya ke Kairo dan ingin ke El Azhar. Permintaannya ditolak, pamannya tertawa, dan membalasnya dengan alasan bahwa El Azhar hanya diperuntukkan bagi kaum lelaki.
Pada masa remajanya, Firdaus masih melihat dan merasakan tindakan lainnya yang bersifat merendahkan perempuan. Sampai pada suatu ketika Firdaus menikah, sering kali ia diperlakukan tidak baik oleh suaminya, dipukuli, dan direndahkan. Hal ini membuatnya untuk memutuskan untuk pergi dari rumah.
Alih-alih keluar dari rumah, ia bertemu dengan Bayoumi, seorang pelayan kedai yang di kemudian hari juga melecehkan Firdaus bersama teman-temannya. Setelah kejadian itulah, Firdaus bertemu dengan Sharifa Salah el Dine dan memulai perjalanan hidupnya sebagai seorang pelacur yang hidup berkelimpahan harta. Hingga pada akhirnya seorang Germo memaksa untuk menikah dengannya. Akan tetapi, Firdaus tidak mau dan percekcokan pun terjadi. Selanjutnya, Germo tersebut mengeluarkan pisau yang justru menusuk dirinya sendiri dan mati di tangan Firdaus.
Hati Firdaus hancur bukan kepalang karena telah direndahkan. Meskipun sebelumnya, ia telah berusaha keluar dari dunia yang tidak baik itu dengan bekerja di sebuah instansi. Suatu ketika, Firdaus pun kembali bertemu dengan seorang lelaki yang mencoba melakukan tindakan asusila. Firdaus pun membunuhnya. Akibat tindakannya itu, Firdaus ditangkap dan dipenjara dengan hukuman mati.
Berdasarkan kisah Firdaus di atas, terlepas dari tindakan Firdaus yang telah membunuh seseorang, novel ini mencoba mengamanatkan bagi seluruh perempuan untuk bersikap berani. Kemudian, berusaha membuka mata tak hanya perempuan, tetapi laki-laki, perihal kepincangan-kepincangan antara perempuan dan laki-laki masih cukup banyak.
Namun demikian, jika berbicara tentang buku Perempuan di Titik Nol sendiri, terdapat beberapa kalimat yang diulang persis. Ada juga beberapa kalimat yang sulit dimengerti, dan terasa vulgar. Di sisi lain, buku ini masih dapat direkomendasikan karena nilai-nilai yang terkandung di dalam buku sangat baik.
Perempuan di Titik Nol membuka jendela pengetahuan lain perihal kondisi di Mesir dalam isu kesetaraan gender pada masanya dimana pada saat negeri-negeri Arab terkenal sebagai masyarakat yang kedudukan perempuannya dianggap amat terbelakang, khususnya Mesir yang telah menjadi salah satu yang terburuk. Sebab, sebagai orang Indonesia, yang notabenenya adalah negara yang masih mengedepankan aspek kemasyarakatan, beberapa cerita di dalamnya akan terasa relate (baca: berkaitan) dengan yang terjadi di Indonesia.
Penulis: Affifah Nasrillah
Editor: Ela Auliyana