Setiap makhluk meninggalkan jejak, entah cuma lewat, mampir, atau menetap. Baik jejak kaki, aroma tubuh, atau kenangan. Semesta merekam dengan rajin dan membius ingatan seluruh umat manusia yang mungkin bahkan ingin melupakannya.
Seperti anjing hitam di dalam cermin kamarku. Ia terjebak di sana, menangis setiap malam. Itu menyedihkan dan aku membencinya.
Keesokan malamnya pun masih sama, ia menangis lagi. Ia enggan membiarkanku tidur.
“Dasar anjing! Apa? Sekarang mau apa?” bentakku dan membuat anjing itu terdiam. Wajahnya menyedihkan. Hal itu benar-benar menyebalkan. Dia perlahan meringkuk, tubuhnya gemetar, lalu matanya pun perlahan sayu. Mungkin ia mulai mengantuk karena lelah menangis. Aku masih terduduk di depan cermin, menunggu giliran tidur dengan waspada, takut anjing itu terbangun dan lanjut menangis. Ketika kurasa aman, mata ini ku izinkan menutup.
Malam kembali berganti. Ku siapkan diri mendengar rengekkan si anjing hitam. Aku sudah paham polanya, ia menangis karena kesepian terjebak di dalam cermin itu, aku hanya perlu menemaninya sampai ia tertidur.
Aku menghampiri cermin, tempat si anjing hitam terkurung. Tetapi berbeda dari hari-hari biasanya, si anjing tampak girang seolah memang sedang menunggu kedatanganku. Ia sibuk berputar-putar, mengibaskan ekor, dan bermain dengan dirinya sendiri. Tentu saja aku kebingungan. Setelah tiap malam, ia menangis dan mengganggu jam tidur, sekarang ia justru beratraksi tanpa sebab. Tingkahnya sungguh menjengkelkan. Namun anehnya, aku mulai menyukainya. Wajahnya yang tak lagi sedih dan setiap gerakannya bersemangat. Mulai saat itu, aku mulai menyukainya
Berbeda dari malam sebelumnya dibanding tidur, aku lebih suka terjaga dan menghabiskan waktu dengannya. Namun tubuh dan mata ini tidak bisa diajak kompromi, aku ketiduran. Tidak apa lah, toh besok malam aku masih bisa melihatnya.
Malam yang berbeda hadir lagi. Kutunggu si anjing hitam di depan cermin.
Satu jam.
Dua jam.
Jam-jam berikutnya pun berlalu. Ia masih tidak hadir. Aku kagum, dia sungguh sangat konsisten dan profesional dalam membuatku kesal.
Hari itu, ketika malam perlahan berganti menjadi pagi tanpa adanya ia dicermin. Aku sadar, ia tak akan pernah kembali. Anjing itu sudah bebas. Entah dimana ia sekarang, dia harusnya sudah tidak perlu lagi menangis di tiap malam.
Malam berikutnya, aku yang menangis, mengambil alih tugas si anjing hitam sambil kembali menyusun ingatanku sejak awal.
Tak pernah barang sedetik pun kubuka pintu kamarku dan membiarkan segala hal asing masuk ke dalamnya. Tetapi anjing hitam itu secara ajaib terjebak di sana.
Apa maksud keberadaan dan kepergiannya? Siapa yang mengurungnya di sana? Aku masih tidak tahu.
Jika kuceritakan dan menanyakan jawabannya ke orang lain, maka aku yang gila. Jika aku meminta jawabannya ke tuhan, aku dipaksa bersyukur. Pada akhirnya yang bisa aku lakukan hanyalah menjaga kenangan ini seperti rahasia, sambil berpura-pura bersyukur agar tuhan segera memberi tahu jawabannya.
Penulis: Ramadina Halimatus Sa'adiah
Editor: Ela Auliyana