lpmindustria - Perbudakan yang dirasakan Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia kian lumrah terjadi pada kapal ikan asing. Tindak lanjut pemerintah mengatasi kasus tersebut baru-baru ini tengah menjadi perhatian publik
Kasus ABK di kapal ikan milik China, LongXing, menjadi viral di Indonesia. Berita ini pertama kali diungkapkan oleh salah satu stasiun televisi Korea Selatan, yaitu MBC, dan diviralkan oleh Youtuber asal Korea Selatan di saluran Youtubenya, Korea Reomit. Berita tersebut berisi pernyataan salah satu ABK Indonesia terkait perbudakan yang terjadi di kapal tersebut.
Namun, kasus seperti ini bukanlah kasus yang pertama kali terjadi di Indonesia, ada banyak kasus perbudakan seperti itu yang dialami ABK asal Indonesia. Dikutip dari halaman kompas.com, Zainudin selaku Ketua Umum Serikat Buruh Tegal mengungkapkan bahwa eksploitasi pelaut Indonesia di atas kapal ikan asing ini sudah seringkali terjadi bahkan sudah dianggap lumrah di kalangan pelaut. Dengan demikian, pemerintah tampak acuh dalam menghadapi kasus seperti ini sehingga membuat kejadian tersebut terus terulang.
Pada saat ini, aturan-aturan ABK yang digunakan adalah Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35 Tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan. Tidak tersedianya perlindungan hukum terhadap ABK ini menyebabkan kasus ini seakan tidak ada habisnya. Dikutip dari halaman nasional.kompas.com, Netty Prasetiyani selaku anggota Komisi IX DPR RI menegaskan bahwa sejauh ini regulasi hanya membahas perlindungan ABK di dalam negeri dan sifatnya parsial. Padahal, kasus pelanggaran HAM juga banyak terjadi di luar negeri. “Saya minta pemerintah buat aturan hukum yang komprehensif,” ungkapnya.
Dilansir dari halaman LBH Jakarta menyatakan bahwa Indonesia hingga saat ini belum meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) Nomor 188 Tahun 2007 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan yang mengatur lebih rinci akan perlindungan terhadap ABK serta tanggung jawab pemilik kapal ikan. LBH Jakarta menilai bahwa masih adanya kekosongan hukum terhadap perlindungan ABK yang menyebabkan banyaknya eksploitasi dalam bekerja serta pelanggaran hukum dan HAM terhadap awak buah kapal. Dapat dilihat bahwa penanganan pemerintah yang lambat terhadap kasus tersebut disebabkan oleh kurangnya perlindungan hukum terhadap ABK yang bekerja di kapal asing.
Namun, kasus kapal LongXing juga menggambarkan bagaimana respon pemerintah dalam menangani kasus ini. Melalui saluran Youtube Korea Reomit, Umar Hadi selaku Duta Besar RI untuk Korea Selatan menyampaikan bahwa pemerintah telah mengetahui kasus ini sebelum ada pemberitaan mengenai kasus ini dan telah melakukan penanganan yang cepat dan tanggap. “Jika ada seseorang mencari keadilan, kita akan fasilitasi agar keadilan itu bisa dicapai,” tegasnya.
Dilansir dari laman merdeka.com, bukti keseriusan pemerintah dalam menangani kasus ini ditunjukkan dengan melakukan update informasi secara berkala soal status penanganan kasus. Hal serupa juga disampaikan oleh Umar Hadi bahwa pemerintah telah melakukan update terhadap kasus ini. Selain itu, pemerintah juga menyiapkan langkah-langkah lainnya. Dilansir dari pikiran-rakyat.com, Pelaksana Tugas Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Plt. Ditjen Binapenta & PKK Kemenaker), Aris Wahyudi, menjelaskan bahwa Kemenaker akan fokus melakukan investigasi pada aspek-aspek ketenagakerjaan, seperti pelanggaran hubungan kerja dan pelanggaran norma ketenagakerjaan, khususnya pelindungan pekerja migran Indonesia.
Mutiah Kusuma Sari