Mengupas Program Vaksinasi Covid-19 dalam Perspektif Kesehatan, Hukum, dan HAM

lpmindustria.com – Saat ini, pemerintah tengah mengupayakan program vaksinasi Covid-19 sebagai perwujudan dari kewajiban negara untuk menyediakan layanan kesehatan bagi masyarakat. Namun jika dilihat dari beberapa perspektif, masih terdapat kendala dalam pengimplementasiannya.

Sejak awal pandemi Covid-19, pemerintah menggalakkan protokol 5M, yaitu memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, serta membatasi mobilitas dan interaksi. Akan tetapi, Mei Neni Sitaresmi selaku dokter spesialis anak mengatakan bahwa pemerintah masih perlu melakukan vaksinasi sebagai langkah untuk melindungi masyarakat dari infeksi virus tersebut.

“Pembatasan mobilitas menjadi hal yang paling sulit karena manusia adalah makhluk sosial. Maka penerapan 5M tidaklah cukup, vaksinasi menjadi salah satu tambahan dalam pengendalian virus ini,” ujarnya dalam webinar bertajuk “Mengupas Program Vaksinasi Covid-19 dalam Perspektif Kesehatan, Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana”.

Dalam webinar tersebut, Mei turut menjelaskan terkait tujuan dari pelaksanaan vaksinasi. Pertama, menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat virus Covid-19. Kedua, mencapai herd immunity (baca: kekebalan kelompok) untuk melindungi kesehatan masyarakat. Ketiga, memperkuat sistem kesehatan secara menyeluruh. Terakhir, menjaga serta meminimalkan dampak sosial dan ekonomi.

Selanjutnya, Mei menegaskan bahwa vaksinasi juga memiliki tingkat keamanan tertinggi dari pada jenis pengobatan lainnya. Selain itu, pemberian vaksin juga merupakan pencegahan dengan biaya yang paling efektif dan efisien. Pada beberapa orang mungkin vaksin dapat menimbulkan reaksi, seperti nyeri, demam, bengkak, dan kemerahan. Namun, hal tersebut merupakan reaksi yang wajar dan akan kembali normal tanpa perlu pengobatan tambahan. “Adanya reaksi setelah vaksin cukup sedikit, yang banyak justru kejadian immunization stress related responses dan komplikasi penyakit lainnya,” tambahnya.

Begitu pula yang tercatat dalam data dari Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komnas KIPI). Dikatakan bahwa lebih dari 64 persen penerima vaksin mengalami immunization stress related responses tersebut. “Kecemasan akibat proses imunisasi ini terjadi bukan karena kandungan di dalamnya. Ini bisa muncul sebelum, ketika, dan setelah vaksin karena banyak yang takut dengan jarum suntik,” jelas Mei.

Di samping itu terdapat beberapa kendala dalam pengimplementasian vaksinasi Covid-19 di Indonesia. Di antaranya adalah sulitnya proses pendistribusian dan penerimaan layanan serta banyaknya informasi palsu. “Vaksin bisa rusak jika tidak disimpan sesuai dengan ketentuannya, sehingga pendistribusiannya menjadi sulit. Hal ini dapat mempersulit masyarakat untuk mendapatkan layanan, meskipun Indonesia sudah memiliki empat produsen vaksin,” tutur Mei.

Selain itu, tidak adanya undang-undang yang tegas mengatur terkait vaksinasi pun menjadi kendala lainnya. Sejauh ini, tindak pidana bagi penolak vaksin hanya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2020 mengenai UU Kekarantinaan. Akan tetapi, dasar tersebut masih bersifat multitafsir. “Hukum pidana tidak boleh ditafsirkan secara analogi tetapi harus tertulis, jelas, dan terperinci,” ujar Aditya Wiguna selaku peneliti Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana. Ia pun menyimpulkan bahwa konstruksi perda tersebut tidak bisa menjadi dasar untuk menjatuhkan pidana kepada para penolak vaksin.

Lebih lanjut, Aditya menganjurkan adanya pembentukan undang-undang baru yang secara khusus dan tegas menyatakan larangan terkait penolakan vaksin. Namun, jika tetap menggunakan undang-undang yang sama maka diperlukan penegasan asas hukum. Asas tersebut adalah hukum pidana sebagai alat terakhir penegak hukum (ultimum remedium) atau alat utama penegak hukum (premium remedium).

Solusi lainnya disampaikan oleh Gregorius Sri Nurhartanto selaku dosen Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia (HAM). Ia menambahkan bahwa pengimplementasian vaksinasi ini juga berkaitan dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 9 tentang HAM. Dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, aman, sejahtera serta berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Dalam pembangunan budaya HAM yang sesuai dengan undang-undang tersebut diperlukan peningkatan fasilitas kesehatan dan sosialisasi kepada masyarakat tentang arti penting vaksinasi. “Solusi terbaiknya, para penolak vaksin perlu diberikan penjelasan sedemikian rupa bahwa situasi ini harus dihadapi bersama dalam rangka memenuhi kewajiban kita untuk menghormati hak asasi satu dengan yang lainnya,” tutup Gregorius.

Penulis: Ramadina Halimatus Sa’diah
Editor: Ela Auliyana

 

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *