lpmindustria.com – Situasi sulit akibat pandemi Covid-19 tidak menghentikan kejahatan kemanusiaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Hal ini tampak nyata pada kasus TPPO di Indonesia yang masih terus mengalami kenaikan dan belum menunjukkan perbaikan.
Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) adalah masalah global yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa karena merampas harkat, martabat, dan Hak Asasi Manusia (HAM). I Gusti Ayu Bintang Darmawati selaku Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengatakan bahwa Indonesia sendiri merupakan salah satu negara di dunia yang berada pada tingkat kedua dalam pencegahan dan penanganan TPPO dengan kasus yang masih dikategorikan tinggi. “Meskipun telah berkomitmen penuh melalui berbagai aturan dan kebijakan, tren penyelesaian kasus perdagangan orang di Indonesia belum menunjukkan perbaikan yang signifikan,” jelasnya dalam webinar bertajuk “Perdagangan Orang dalam Situasi Pandemi Covid-19".
Dalam webinar tersebut, Bintang mengungkapkan bahwa kesulitan ekonomi menjadi akar dan modus utama dengan iming-iming kepada korban TPPO. Hal ini didukung oleh data dari United Nations Office Drugs and Crime (UNODC). Hasilnya, sebanyak 80% korban tidak mendapatkan pengasuhan dari orang tua dan miskin sejak lahir. Selain itu, korban kebanyakan juga memiliki pendidikan dan pengetahuan yang rendah, sehingga mudah terjerat modus.
Lebih lanjut, data dari Kemenpppa menunjukkan bahwa kasus TPPO meningkat selama pandemi. Bintang mengatakan bahwa terdapat 213 kasus pada tahun 2019 dan meningkat menjadi 400 kasus pada tahun 2020. “Satu dari empat korban adalah anak-anak,” tuturnya. Begitu pula yang tercatat pada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), jumlah permohonan perlindungan saksi dan korban mengalami peningkatan sebesar 15,3 persen pada tahun 2020. “Pada rekap permohonan tindak pidana prioritas LPSK, selama tahun 2020 hingga 2021 terdapat 215 permohonan terkait kasus perdagangan orang,” ujar Livia Istania selaku Wakil Ketua LPSK.
Bintang turut menegaskan bahwa bertambahnya kasus TPPO selama pandemi dikarenakan banyak anak yang terpaksa harus terpisah atau bahkan kehilangan orang tuanya akibat terpapar Covid-19, sehingga dapat berdampak pada kualitas pengasuhan anak-anak Indonesia. Kemudian, pandemi ini juga berdampak kepada peningkatan angka kemiskinan yang menjadi akar masalah dari TPPO. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kenaikan dari 9,22 persen pada September 2019 menjadi 10,14 persen pada Maret 2021. Ini menempatkan mereka yang sebelumnya berada pada kelompok miskin menjadi sangat miskin. Adapun penambahan angka pengangguran juga menjadi salah satu penyebabnya. Dilansir dari data Badan Pusat Statistik 2021, saat ini terdapat 9,30 persen atau 19,10 juta penduduk usia kerja yang terdampak Covid-19.
Selain itu, pandemi juga melahirkan hambatan dan tantangan baru selama proses pendampingan hukum TPPO. Beberapa di antaranya turut dijelaskan oleh Romo Chrisanctus Paschalis selaku Wakil Ketua Jaringan Nasional (Jarnas) Anti TPPO. Pertama ialah korban yang terus bertambah membuat korban dan para penggiat di shelter (baca: tempat penampungan) menjadi rentan terhadap potensi penularan wabah Covid-19 karena sulit menerapkan social distancing (baca: pembatasan sosial). Selanjutnya, fokus pemerintah saat ini lebih kepada penanganan Covid-19 dan ekonomi, sehingga dalam penanganan kasus TPPO sering kali kekurangan anggaran dan kekurangan tenaga kerja.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia telah melakukan upaya-upaya pencegahan dan penanganan TPPO. Contohnya saat ini Indonesia telah memiliki banyak kebijakan dan instrumen hukum seperti Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia (HAM), penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, pemberantasan TPPO, dan Peraturan Presiden tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO. “Saat ini dalam rangka pencegahan dan penanganan TPPO, kita sedang menyusun satu rencana aksi nasional 2020-2024 yang di dalamnya akan ada program kegiatan, anggaran, penentuan sumber daya, dan lain sebagainya,” ujar Rafail Walangitan selaku Asisten Deputi Perlindungan dan TPPO KPPPA.
Meskipun begitu, Ahmad Sofian selaku Ketua ECPAT Indonesia menyampaikan bahwa masih banyak substansi yang bermasalah dalam penanganan TPPO. Menurutnya, unsur-unsur TPPO yang kaku mempersulit dalam membuktikan TPPO. “Kalau kasusnya tidak viral dan tidak menjadi perhatian publik, penyidik akan membelokkan kasusnya dengan pasal lain. Alasannya karena lebih mudah membuktikannya daripada menggunakan pasal-pasal pada UU TPPO,” tutup Sofian. ECPAT Indonesia sendiri adalah sebuah organisasi yang bertujuan untuk menghapus prostitusi, pornografi, dan perdagangan anak di Indonesia.
Penulis: Ramadina Halimatus Sa’adiah
Editor: Artha Julia