Pengawasan dalam Rumah Kaca

Penulis : Pramoedya Ananta Toer

Penerbit : Lentera Dipantera

Tebal Buku : 646 Halaman

*

Kepada Madame Sanikem Le Boucq.

Tak perlu kiranya aku menjelaskan tentang yang selebihnya yang telah kulakukan itu; Madame sebagai wanita yang arif bijaksana dapat mengerti semuanya. Tentang kenyataan-kenyataannya cukuplah semua tertera dalam berkas catatanku Rumah Kaca ini yang dengan rela kupersembahkan padamu. Madamelah hakimku. Hukuman aku terima, Madame.

Bersama ini aku serahkan juga padamu naskah-naskah yang menjadi hakmu, tulisan R.M. Minke, anakmu kekasih. Terserah bagaimana Madame menggunakan dan merawatnya.

Deposuit Potentes de Sede et Exaltavat Humiles.

(Dia Rendahkan Mereka yang Berkuasa dan Naikkan Mereka yang Terhina).

*

Gejolak organisasi modern di Indonesia sudah terjadi sebelum merdeka. Dalam roman tetralogi buru, Pramoedya Ananta Toer menggambarkan gejolak organisasi tersebut. Jika, tiga buku sebelumnya (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa dan Jejak Langkah) disajikan dalam sudut pandang Minke, maka Rumah Kaca memiliki sudut pandangnya sendiri. Pada buku ini, Pram menampilkan sudut pandang seorang komisaris polisi yang naik pangkat menjadi juru arsip, yaitu Pagemanann.

Buku Rumah Kaca, dimulai dari selesainya Pagemanann mengantar Minke dalam pembuangan ke Ambon. Meski, ia dibuang ternyata Pagemanann tetap merasakan bayang-bayang Mingke dalam gejolak organisasi di Hindia Belanda. Bahkan, pengaruh Minke mengakibatkan munculnya pribumi-pribumi lain yang berani menyuarakan pendapat. Beberapa di antaranya ialah Marco dan Siti Soendari.

Pengantaran Minke dalam pembuangan menjadi babak baru bagi Pagemanann sebagai seorang juru arsip. Melalui pekerjaannya tersebut, ia dipaksa melawan kata hatinya untuk mengawasi setiap organisasi yang memungkinkan mengancam keadaan di Hindia Belanda. Berbagai organisasi dan tokoh pergerakan diawasi dalam arsip-arsipnya. Sehingga, membuat kita memahami bahwa kegiatan arsip merupakan kegiatan politik paling menakutkan. Bahkan berakibat pembekuan organisasi ataupun pembuangan.

Selama masa pembuangan Minke, Hindia Belanda telah mengalami banyak perbuahan dan gejolak perpolitikan. Perubahan organisasi yang pernah dipimpin Minke menjadi awal perubahan tersebut. Syarikat Dagang Islam yang dipimpin oleh Hadji Samadi, membuatnya kewalahan dalam memimpin organisasi. Perbedaan gaya kepemimpinannya dengan Minke serta tuntutan perusahaan batiknya, membuat ia harus mencari pemimpin lain. Pemimpin baru itu ialah H.O.S Tjokroaminoto yang kemudian mengubah nama organisasi menjadi Syarikat Islam. Berbeda dengan masa kepemimpinan Minke yang menghasilkan tulisan-tulisan mengecam pemerintah. Menurut Pagemanann, organisasi ini telah kehilangan mata penanya. Bahkan, ia merasa tidak  ada organisasi lain yang dapat menghasilkan surat kabar seberhasil Medan di bawah pimpinan Minke.

Munculnya Indishce Partij pun tidak jauh berbeda. Tulisannya pernah mengkritik perayaan kebebasan Nederland terhadap Prancis. Baru mengkritik pemerintah, penggerak organisasinya langsung dibuang ke Nederland. Selain itu, Siti Soendari yang pernah mendapat didikan dari R.M. Minke, tidak jauh berbeda. Suaranya yang lantang hampir-hampir menjadikannya senasib dengan R.A Kartini, dibuat bungkam tradisi perkawinan. Kemudian, berakhir dengan menghilang ke Nederland. Begitu pula dengan Marco, yang selalu menulis dan mengkritik pemerintahan gubermen. Pengetahuannya yang sedikit, membuatnya hanya keluar  masuk penjara. Semua kejadian-kejadian itu tidak lain hasil dari pengawasan seorang juru arsip Pagemanann. Setiap keputusan dan analisis yang ia tulis menjadi langkah gerak yang diambil oleh gubernur jenderal.

Perubahan dan tekanan-tekanan pada organisasi modern ini berakhir di dalam pemerintahan Gubernur Jenderal Idenburg. Setelah gubernur jendral diganti menjadi Gubernur Jendral Limburg Stirum, kebijakan tentang kearsipan berubah. Sehingga, Pagemanann merasa dirinya sudah tidak berarti lagi bagi pemerintah Hindia Belanda. Setelah itu, perasaan menyesal mulai membebaninya. Ia telah kehilangan banyak hal seperti istri, anak dan kehormatannya karena harus mengikuti perintah Hindia Belanda. Sedangkan Minke, hanya kehilangan harta tapi tidak untuk kehormatannya.

Pada akhir Roman Rumah Kaca, dikisahkan Minke telah kembali dari masa pembuangannya. Meski telah selesai dari pembuangan, kebebasannya belum juga ia dapat. Hindia Belanda tidak ingin Minke mencampuri urusan politik dan organisasi. Selama masa kembalinya, Minke baru sadar ia telah kehilangan banyak hal. Mulai dari usaha-usahanya dan juga rumahnya. Hingga, ia merasa lelah dan jatuh sakit. Kemudian, ia meninggal karena dokter yang memeriksanya diancam akan dibunuh dan harus berbohong akan penyakitnya.

Sudut pandang Pagemanann dalam Roman Rumah Kaca menjadi pelengkap kisah buku-buku sebelumnya. Pramoedya Ananta Toer mengajak kita untuk mengenal pergolakan organisasi yang terjadi sebelum Indonesia merdeka. Perjuangan pribumi dalam tulisan maupun organisasi menjadi ujung tombak perjuangan. Sekaligus, membuat kita lebih berhati-hati pada agenda arsip yang dilakukan oleh pemerintah.

Kr / Roswafa Kusuma

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *