Sulastri di Lumbung Padi

lpmindustria.com,- Ku susuri jalan setapak di sore hari, memanggul sekarung beras hasil panen hari ini. Tanpa lelah aku menuju rumah berjalan kaki, sudah tak sabar diriku untuk bertemu dengan anak dan istriku. Sepanjang jalan aku membayangkan akan seperti apa raut kebahagiaan mereka saat kubawakan rezeki yang tak seberapa ini. Kemudian kubayangkan memakan nasi hasil panenku bersama keluarga dengan lauk sayur kangkung hasil ngarit di halaman rumah kami sendiri, ditambah satu teko teh hangat yang kemarin aku beli di warung Handoyo yang berada di kaki bukit.

Setibanya aku di rumah, hanya ada suasana hening yang menyapaku. Kemanakah anak istriku. Aku cepat-cepat mencari mereka ke se-isi rumah, bahkan ke seluruh pekarangan rumah namun tetap tidak kutemui mereka. Karena perutku yang mulai terasa lapar akhirnya aku memutuskan untuk memeriksa isi tudung nasi, siapa tahu dapat kutemui sisa makanan untuk diriku mengganjal perut. Bukannya makanan yang kutemui malah selembar kertas dengan tulisan yang ditulis oleh istriku. Istriku yang lulusan SMA itu mungkin lupa bahwa suaminya yang tidak tamat SD ini buta huruf. “apa ini ya tulisannya” batinku dalam hati.

Untuk mencari tahu apa tulisan pada kertas ini, aku pun bergegas menemui sahabatku Handoyo yang tinggal di kaki bukit tempat aku tinggal, sesampainya di sana aku langsung duduk di warung sahabatku. Aku bertanya pada Handoyo apa isi tulisan yang ada pada kertas yang aku bawa, kemudian Handoyo pun menjawab “Ada-ada saja kamu ini, aku kan juga sama seperti kamu tidak bisa membaca”, aku baru ingat bahwa Handoyo sama sekali tidak pernah sekolah.

Dikarenakan hari semakin sore akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Ya benar, aku pulang dengan tangan hampa. Keesokan harinya aku membawa kertas tersebut ke kebun tempat kerjaku supaya siapa tahu ada yang bisa membaca kertas tersebut. Kebetulan di gerbang pintu masuk kebun aku bertemu dengan bosku dan langsung aku bergegas menghampirinya untuk bertanya mengenai apa bacaan yang ada pada kertas yang aku bawa.

Akhirnya ada juga yang memberikanku jawaban atas kebingungan ku tentang bacaan di kertas yang ditulis istriku tersebut. Namun sebelum terjawab apa tulisannya, aku merasa kaget dengan kalimat yang dilontarkan bosku “loh heh, sulastri? Emangnya kamu sama sulastri ada hubungan apa rus?”. Ternyata istriku minggat dari rumahku lalu kemudian ia pulang ke rumah orang tuanya karena ia cemburu dengan Sulastri.

Sulastri adalah salah satu anak buahku sejak tiga bulan lalu, aku diangkat menjadi mandor kebun oleh pak Roni bos pengelola kebun. Kedekatanku dengan Sulastri tidaklah lebih dari sekedar apa-apa, aku bersikap baik dan perhatian pada Sulastri lantaran dia merupakan orang yang kerja dengan sepenuh hati, rajin, tekun, dan disiplin. Namun dari sudut pandang istriku, kedekatan itu menjadikan hatinya terbakar api cemburu.

Ingin sekali aku menghampiri istriku ke rumah orang tuanya di pulau seberang untuk menjelaskan semuanya. Namun selain aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku sebagai mandor kebun yang bertanggung jawab mengelola lahan padi, aku juga memiliki tanggung jawab kepada masyarakat sebagai Kepala Pertahanan Sipil (hansip) di pulau tempat tinggalku.

Tak terasa sudah tiga bulan berlalu aku mendengar desas-desus bahwa kini mantan istriku sudah menikah lagi. Dan aku pun terus memikirkan tentang apakah keputusanku salah pada saat dahulu aku tidak menemuinya saat ia kabur, sehingga tidak dapat menjelaskan semuanya karena aku lebih memprioritaskan pekerjaan dan juga pulau tempat tinggalku.

Satu bulan kemudian aku bertemu dengan rekanku sesama Kepala Hansip yang berasal dari pulau tempat orang tua istriku tinggal, kami bertemu disaat kami menghadiri acara Family Gathering Hansip di Ibu Kota Provinsi. Ia mengatakan kepadaku bahwa memang benar mantan istriku sudah menikah lagi dan dibawa oleh suami baru nya untuk merantau ke Jakarta.

Hingga saat ini aku terus memikirkan apakah tindakanku salah telah membiarkannya disaat ia terpuruk karena cemburu, atau malah ia yang salah karena telah berbuat terlalu jauh hanya akibat cemburu buta. Tapi sudahlah selama warung Handoyo masih buka, aku masih bisa berhutang kopi di sana sambil menikmati suasana sore di pulau yang indah ini.

Penulis : Bagus Nurcahyo

Editor : Ela Auliyana

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *