“Ini kopinya dek,”
“Terima kasih bu. Malam begini, angin laut dingin sekali ya bu,”
“Iya dek, mungkin karena laut mau pasang juga,”
Itu adalah percakapan ku dengan Bu Rofiah, sebelum ombak besar menerjang. Ia merupakan salah satu perempuan yang memiliki warung makanan dan minuman di Pantai Galau, Kabupaten Pandeglang, Banten. Percakapan yang singkat itu akhirnya menjadi penutup panjang keramaian di sepanjang malam. Pada pukul 21.00, tiba-tiba saja laut berombak deras menerjang. Semakin tinggi dan mengguncang.
“Adek tidak apa?”
“Tidak apa bu, Ibu bagaimana? Tadi saya melihat ibu terjatuh,”
“Tidak apa dek. Sekarang adek bangun dan ajak semua orang sebisa mungkin untuk lari ya,”
“Baik bu,”
Kejadian terjadi begitu cepat. Semua menjadi kacau. Tiap orang yang sadar hanya pergi menyelamatkan dirinya sendiri. Kemudian, dari sisi ku, terlihat perempuan berumur tua ini. Mungkin 40 atau bisa jadi 50 tahun, berlari dari satu warung ke warung lainnya sambil membawa kentungan. Ia bangunkan tiap wisatawan yang tertidur di warung pinggir pantai. Ia peringatkan satu per satu manusia yang sempat ia lihat. Padahal dalam hembusan waktu ia bisa saja menyelamatkan diri sendiri seperti yang lain.
“Alhamdulillah, dek. Kita sudah berada di tempat yang aman,”
“Iya bu tapi warung ibu terbawa ombak,”
“Tak apa. Hal yang terpenting saat ini ialah kita selamat. Besok pagi, bantu ibu ya dek untuk bangun dapur umum. Kamu pernah diajarkan tanggap bencana?,”
“Belum pernah bu,”
“:Kalau begitu kita buat seadanya saja. Sepertinya banyak wisatawan yang menginap terbawa arus. Villa dan resort dekat pantai pun hancur semua sepertinya,”
*
Benar saja kata Bu Rofiah. Hampir seluruh korban yang meninggal, luka-luka dan hilang ialah para wisatawan. Penduduk sekitar? Tidak terlalu banyak walau kerugian materi jauh lebih banyak mereka dapatkan. Kehilangan rumah, penghasilan kerja dan sekolah yang hancur.
“Beri kami makan-makanan ini bu,”
Tiba-tiba saja pagi itu, datang lima orang pemuda. Warga sekitar juga. Beberapa di antaranya tentu aku kenal, apa lagi yang berbicara tadi. Ia adalah Aji, seorang pemuda yang tiap hari sering rajin datang ke masjid ataupun ikut menjaga keamanan warga di malam hari.
“Maaf tidak bisa, masih banyak anak-anak dan ibu-ibu yang lebih membutuhkan mas,”
“Sudah, segera kasih ke kami. Kami sudah sangat kelaparan ini bu,”
“Apa perlu kami rampas saja ya?” tambah temannya. Entah siapa, aku kurang akrab. Hanya mukanya samar-samar ku kenal.
“Jangan begitu mas, benar kata Bu Rofiah, masih banyak yang lebih membutuhkan. Toh, kalau memang lapar. Sabar sedikit, antre saja di belakang anak-anak dan ibu-ibu,”
“Kamu jangan menggurui dik. Kamu ini masih anak bawang, tak tahu nasib jadi seperti kami,”
“Mungkin saya memang tidak tahu, tapi kalaupun saya menjadi seumuran kalian. Saya tidak akan menjadi sebuas itu,”
“Buas, kau pikir hewan. Kami hanya minta makan saja, kenapa diributkan?”
“Sudah-sudah, jangan bertengkar. Baru semalam kita kena musibah. Yasudah, ini makanannya,” Bu Rofiah kemudian berusaha melerai kami. Tidak habis pikir, bagaimana mungkin pemuda- pemuda itu bisa bertindak seperti itu.
“Sudah tidak apa dik, jangan diributkan. Biarkan saja mereka, lebih baik kita lanjut membuat makanan untuk dapur umum ini. Beginilah rasanya, tidak hanya rasa-rasa dalam bumbu makanan saja. Bumbu kehidupan pun semakin terasa dalam dapur umum ini bukan?”
Kr / Roswafa Kusuma