Gambar Kala Itu

Negeri ku adalah negeri dengan 1001 larangan. Dari pakaian, tulisan, buku, bicara, ini, itu, ini, itu­­­, ini, itu, seterusnya, seterusnya hingga ke nomor 1001. Larangan itu diatur oleh petingg-petinggi negara, mereka membuat itu sambil berkata demi ‘masyarakat’. Aku tak mengerti karena dari sudut pandangku, larangan yang mereka buat membelenggu kreatifitas ku, menutup aspirasi ku dan mengkotaki pikiranku. Itu bagiku, karena beberapa temanku mereka hanya mengangguk setuju tanpa argumentasi dan mengikuti arus. Oh aku lupa bahkan beragumentasi ada larangannya. Aku menghela napas sambil meregangkan badanku yang sedari tadi aku sedang menggambar di dalam kelas.

Badanku terasa kaku karena selama mata kuliah aku hanya menggambar. Aku menatap hasil karyaku yang hitam putih lalu melihat ke sekitar ruang kelas dengan mata menyusuri setiap mahasiswa di dalam yang semuanya memakai pakaian putih . Setiap hari kamis, kampus memiliki agenda untuk pergi ke pusat kota untuk audiensi dengan beberapa kampus lain. Hari ini petinggi negara datang untuk melihat audiensi kami. Audiensi ini merupakan salah satu penyampaian aspirasi yang difasilitasi pemerintah tapi sebelum acara ini dimulai semua pernyataan yang ingin dikemukakan harus dicek sebelumnya. Bahkan jika ada beberapa pernyataan sensitif tak tanggung-tanggung mereka akan mencoret pernyataan itu.

Aku mendengus kecil, “mereka hanya ingin mendengar apa yang ingin mereka dengar,” gumamku sambil berdiri dan memasukan kertas gambar ku kedalam kantong jaket putih ku.

“Kiara!” Aku mendengar namaku dipanggil dan seorang wanita datang menghampiriku. “Kiara kenapa kau memakai jaket? Kemeja! Pakai kemeja!” Dia selalu jengkel pada semua pakaian yang aku pakai.

“Yang penting berwarna putih kan? Ayolah Gladis, yang penting aku memakai pakaian yang sopan.” Aku meledeknya dan memakai tas. “Ayo, kita mulai berangkat.” Aku lalu pergi keluar.

Kami menaiki bus ke alun-alun. Aku melihat ke jendela dan beberapa kali melihat coretan di dinding yang mengkritik pemerintah bahkan aku melihat para ‘seniman’ yang melakukan vandalisme itu diringkus oleh aparat. Aku hanya menatap karya mereka dan begitu tertarik dengan perpaduan warna merah pada tulisan dan warna hitam pada gambar rantai yang mereka buat. Dari warna itu aku bisa melihat apa yang mereka coba sampaikan. Aku mulai melihat masa di jalan dan aku sadar kalau kami sudah sampai.

Bus perlahan berhenti dan anak-anak digiring keluar dari bus lalu mulai bergabung dengan masa. Aku tidak bisa membedakan mana orang-orang dari kampusku karena semua orang memakai baju putih. Aku tersenyum pahit karena semua orang terlihat sama dan sangat monoton. Aku mulai mendengar suara dari pengeras suara di depan. Ah.. Orasi sudah dimulai, Aku harus maju kedepan.

Aku merasakan seseorang menahan ku dan saat aku melihat ke belakang Gladis menahan jaketku. “Kau mau kemana? Jangan pergi terlalu jauh atau kau akan tersesat!” Ia berteriak sedikit karena sangat berisik di sini.

“Aku harus pergi kedepan! Aku ingin menggambar,” Aku tak perlu berteriak karena aku tahu kalau dia cukup mendengarku terlihat dari ekspresinya yang kaget.

“Apa?! Kau gila! Menggambar apa?! Dan maksudmu kau ingin menggambar di depan sana?!” Pekiknya kaget. Aku mengeluarkan kertas gambarku dan memberikannya kepada Gladis. Aku makin yakin dia tahu maksudku saat melihat coretan awal gambarku itu. “Kiara.. kau bercanda.”

Aku tersenyum lebar. “Aku tidak bercanda! Aku serius! Judul gambarnya adalah ‘Freedom’. Satu setengah jam lagi seluruh dunia akan melihat gambarku! Dan aku yakin pesannya akan tersampaikan lalu tirani ini akan berakhir!” ujarku amat senang. “Dan kita akan bebas!” Aku melepas tangannya lalu mulai menembus kerumunan orang.

Aku membuka tasku dan memakai masker hitam menutupi hidung dan mulutku lalu membuka jaketku. Di antara ratusan orang yang memakai pakaian putih hanya aku yang memakai kemeja hitam. Aku mengeluarkan sebuah tabung kecil dan korek api. Saat hampir berada dibarisan depan aku menyalakan sumbunya dan asap merah keluar dari tabung itu, aku mengangkatnya tinggi-tinggi. Semua orang mulai memperhatikanku bahkan aku yakin orang-orang berseragam juga sudah mengarahkan laras panjangnya ke arahku.

Aku maju kedepan dan berbalik menatap orang-orang, termasuk orang-orang yang berada di atas panggung. Dari balik masker aku tersenyum. “Aku bebas,” aku bergumam lebih ke diriku sendiri. Aku bisa merasakan seluruh rantai yang membelengguku lepas saat ini. Aku menatap semua orang. “This is my coup d'etat!!!” teriakku dengan lantang. Beberapa detik kemudian aku mendengar suara tembakan, detik selanjutnya aku bisa merasakan rasa sakit dikepalaku lalu tubuhku limbung dan jatuh ke belakang. Selama sepersekian detik aku bisa mendengar teriakan semua orang dan selanjutnya adalah kegelapan.

Aku tidak menyesal sama sekali.

Ari Diah Nabila

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *