lpmindustria – Telah berlangsung acara Katadata forum virtual series yang berlangsung pada (16/6). Dalam acara ini dijelaskan mengenai upaya yang bisa dilakukan untuk menghasilkan pengolahan emas rakyat yang bertanggung jawab.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bersama United Nations Development Programme (UNDP), yang menjalin kerja sama melalui proyek GOLD-ISMIA, mengadakan webinar untuk membahas isu pengolahan emas di sektor Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK). Acara yang berlangsung dari jam 10.00 – 12.00 WIB ini diselengarakan melalui aplikasi Zoom dan juga disiarkan secara langsung di saluran Youtube Katadata Indonesia.
Acara ini dibuka dengan sambutan dari Rosa Vivien Ratnawati selaku Dirjen Pengelolaan Sampah Limbah dan B3 KLHK dan Hammam Riza selaku Kepala BPPT. Rosa menjelaskan bahwa kegiatan PESK di Indonesia semakin marak terjadi dan menyebar di berbagai wilayah, terutama pascareformasi politik pada tahun 1998. Kegiatan PESK sendiri umumnya beroperasi sejak era informal dan mengeksploitasi cadangan-cadangan emas marginal yang terletak di daerah terpencil dengan akses yang sulit dijangkau. Contohnya, di kawasan hutan, hutan lindung, bahkan di kawasan konservasi. Beberapa tempat kegiatan PESK pun dilakukan di tengah-tengah pemukiman penduduk.
Hal diatas terjadi karena PESK dianggap sebagai sebuah mekanisme ekonomi yang dapat membantu mengurangi tingkat pengangguran. Disamping itu, PESK juga dianggap sebagai kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan. “Metode penambangan yang dilakukan hanya menggunakan metode yang sederhana, tidak didasarkan pada kaidah good maining practice yang kemudian menjadi penyebab faktor kerusakan lingkungan hidup. Dengan PESK juga ditemukan adanya penggunaan merkuri yang bisa mencemari lingkungan dan berbahaya bagi kesehatan,” jelas Rosa.
Terkait dengan merkuri, Indonesia merupakan negara yang berada di urutan tiga teratas penghasil merkuri global. Sekitar 57% merkuri dilepaskan oleh kegiatan PESK ke udara, tanah, tanaman, dan bahkan berujung pada residu di dalam tubuh manusia. Rosa mengatakan bahwa pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Minammata pada 20 September 2017 dengan UU No. 11 tahun 2017. Konvensi Minamata berbicara tentang bagaimana kita mengurangi dan menghapuskan merkuri.
Hammam juga mejelaskan, saat ini BPPT besama dengan KLHK serta UNDP sedang melakukan upaya penghapusan penggunaan merkuri khususnya pada PESK. Teknologi yang terintegrasi ini tidak mengurangi atau memutus mata pencaharian dari rakyat, namun hanya memberikan alternatif teknologi yang lebih baik dalam tingkat perolehan emas yang mencapai dua kali lipat dari penggunaan merkuri. Mengenai hal tersebut, BPPT telah melakukan pilot project di Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Adapun upaya yang dilakukan dalam proses pengelolaan emas ini adalah dengan menggunakan teknik sianidasi yang terkontrol dengan dilengkapi pengolahan limbah yang baik. “Proses ini menggunakan sianida yang mampu membuat hasil emas lebih banyak dari pada merkuri, dimana proses ekstraksi emas menggunakan merkuri hanya mencapai 74% sementara kalau sianida bisa mencapai 90%. Teknologi ini sangatlah dibutuhkan dalam rangka mengendalikan pencemaran dan kerusakan lingkungan,” terang Rosa.
Setelah penjelasan dari Rosa dan Hammam, acara ini dilanjutkan dengan penyampaian materi dari para narasumber. Narasumber yang diundang dalam acara ini ada tiga orang yaitu Rizal Kasli selaku Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia, Dadan Moh Nurjaman selaku Sekertaris BPPT, dan Achmad Gunawan Widjaksono selaku Direktur Verifikasi Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non –B3 KLHK.
Dalam kesempatan kali ini, Rizal menjelaskan bahwa kendala utama dari tambang rakyat adalah modal dan teknologi. Menurutnya untuk melakukan pengolahan emas yang lebih kompleks, seperti emas primer, peralatan yang dibutuhkannya pun lebih kompleks, misalnya crusher dan leaching. Selain itu, limbahnya pun harus dikontrol. Kemudian, limbah tersebut diolah kembali sehingga tidak dilepas langsung ke lingkungan, artinya itu semua membutuhkan teknologi dan modal.
Tak hanya itu saja, Rizal juga menanggapi bahwa model pengelolaan emas dengan menggunakan sianida bisa menjadi solusi terkait permasalahan yang ada saat ini namun, dengan beberapa catatan. Diperlukannya pembinaan dan pengawasan yang ketat, karena sianida sangat berbahaya bagi lingkungan. “Ini yang perlu disosialisasikan, di-training, dan diawasi dengan ketat. Kalau itu dilakukan akan menjadi salah satu solusi bagi pertambangan skala kecil untuk mengalihkan pertambangan dari pemakaian merkuri menjadi pemakai sianida,” tutup Rizal.
Ida Amelia