lpmindustria – Kerusuhan yang terjadi di Papua tahun lalu berujung dengan pemblokiran akses internet oleh Kemenkominfo. Lalu pada 3 Juli 2020, hal tersebut menjadikan Menkominfo dan Presiden RI divonis bersalah.
Aksi masa yang berujung kerusuhan di Papua pada Senin (19/08/2019) membuat Kementrian Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) membatasi akses internet di wilayah tersebut. Berdasarkan Siaran Pers No. 154/MH/KOMINFO/08/2019, throthling (baca: pembatasan akses/ bandwith) dilakukan untuk mencegah luasnya penyebaran hoaks pemicu aksi. Pasalnya, Kemenkominfo telah menemukan dua hoaks yang tersebar melalui media sosial dan pesan instan.
Tak berhenti pada pembatasan akses, Kemenkominfo pun melakukan pemblokiran sementara layanan data telekomunikasi di Papua dan Papua Barat mulai tanggal Rabu (21/08/2019). Hal ini disampaikan juga melalui Siaran Pers No. 155/HM/KOMINFO/08/2019, di dalamnya dijelaskan bahwa langkah tersebut dimaksudkan untuk mempercepat pemulihan situasi keamanan dan ketertiban di Papua dan sekitarnya.
Terkait dengan tindakan pemblokiran internet ini, Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) dan Southest Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menggugat Menkominfo (Tergugat I) dan Presiden RI (Tergugat II) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Berdasarkan Putusan, perkara tersebut diajukan pada 21 November 2019 dan terdaftar dengan nomor 230/G/TF/2019/PTUN-JKT.
Melalui artikel tempo.co dengan judul “AJI: Pemblokiran Internet Alat Pemerintah Kendalikan Keadaan”, Abdul Manan selaku Ketua Umum AJI menilai pelambatan dan pemblokiran internet adalah tindakan yang tidak profesional. Terlebih lagi, pemerintah telah melakukan hal yang sama sebanyak dua kali, yaitu Mei dan Agustus 2019. Selain itu, pelambatan ini juga memberikan dampak kepada banyak orang, misalnya, jurnalis kesulitan untuk melaporkan peristiwa dan masyarakat juga sulit dalam menghubungi keluarga dan temannya.
Di samping itu, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet, Ika Ningtyas mengatakan bahwa penuntutan dilakukan lantaran pihaknya merasa keberatan saat pembatasan akses tak mendapat respon yang baik dari pemerintah. Pemerintah malah mengambil kebijakan yang sama untuk merespon aksi unjuk rasa terkait kasus rasisme dan represi terhadap Papua. “Kami juga ingin menguji apakah pemerintah telah melakukan prosedur yang benar? Apa dampaknya ketika kebijakan ini diambil?” ujarnya pada artikel tempo.co yang sama.
Menurut Putusan halaman 280-281 pun, selain pembatasan akses internet di beberapa wilayah Papua pada 19 Agustus 2019 pukul 13.00-20.30 WIT dan pemblokiran layanan data di seluruh provinsi itu sejak 21 Agustus-4 September 2019 pukul 23.00, terdapat satu tindakan lagi yang digugat ke PTUN. Tindakan tersebut adalah perpanjangan pemblokiran layanan data dan atau pemutusan internet di empat kabupaten/ kota di Provinsi Papua (Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Mimika, dan Kabupaten Jayawijaya) dan dua kota/ kabupaten di Provinsi Papua Barat (Kota Manokwari dan Kota Sorong) mulai 4 September 2019 pukul 23.00 WIT hingga 9 September 2019 pukul 20.00 WIT.
Berdasarkan Putusan No. 230/G/TF/2019/PTUN-JKT, majelis hakim menyatakan bahwa tindakan pemerintah seperti yang tercantum sebelumnya adalah tindakan yang melanggar hukum oleh badan dan atau pejabat pemerintahan. Selanjutnya, Menkominfo dan Presiden RI selaku Tergugat dihukum dengan membayar biaya perkara sebesar Rp457.000 secara bersama-sama.
Melansir dari bbc.com, majelis hakim menilai bahwa tindakan pemerintah ini menyalahi UU ITE Pasal 40 Ayat (2a) dan (2b) yang menjadi dasar hukum pengambilan keputusan pemerintah untuk memperlambat dan memblokir internet. “Pemaknaan pembatasan hak atas internet yang dirumuskan dalam Pasal 40 Ayat (2b) UU ITE hanya terhadap informasi dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum dan tidak mencakup pemutusan akses jaringan internet,” jelas majelis hakim dalam putusannya.
Selain itu, dikutip dari tempo.co pada artikel yang berjudul “Ini Pertimbangan Hakim Vonis Jokowi Salah Blokir Internet Papua”, majelis hakim juga mengatakan, pemblokiran internet di Papua pada tahun 2019 melanggar Undang-Undang tentang Keadaan Darurat Berbahaya. Hal ini dikarenakan tidak pernah ada pengumuman berita sedang dalam keadaan bahaya sebelumnya. “Karena tidak pernah ada pengumuman tersebut, hal ini juga melanggar hak atas informasi dan hak lainnya. Ini menunjukkan tidak adanya good governance. Dan juga, menghalangi tugas-tugas jurnalis dan pemerintah,” ungkap Muhammad Isnur selaku kuasa hukum penggugat yang mengutip putusan hakim.
Artha Julia