lpmindustria – Perkembangan teknologi telah mengakibatkan maraknya penyebaran hoaks yang berdampak negatif bagi masyarakat. Untuk menangani hal ini diperlukan literasi digital agar dapat terhindar dari hoaks-hoaks tersebut.
Menurut Muhammad Khairil Haesy selaku Pemeriksa Fakta Senior di Masyarakat Anti Hoax Indonesia (Mafindo), organisasi masyarakat pertama yang berkecimpung dalam gerakan anti hoaks dan pemeriksa data, hoaks adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar namun dibuat seolah-olah benar adanya.
Hoaks sendiri muncul sebagai salah satu dampak dari perkembangan teknologi yang membuat semua orang mampu saling terkoneksi. Hal inilah yang membuat informasi melalui konten-konten tersebar luas secara cepat. “Pada zaman dahulu, perkembangan informasi masih dalam bentuk kertas dan disebarkan dari mulut ke mulut. Sekarang, dengan adanya media sosial, berita-berita tersiar melalui jempol ke jempol,” kata Roy Arnold Sadam D. S. sebagai Vice President Head of Media and Brand Partnership Disney Indonesia dalam webinar bertema “Upaya Pencegahan Diri terhadap Hoaks melalui Literasi Digital” pada Sabtu (18/7).
Kemudian, lewat perkembangan teknologi juga, informasi tidak dapat dipastikan kebenarannya. Khairil menuturkan bahwa dahulu, informasi yang sampai ke masyarakat adalah informasi-informasi yang telah diproduksi dengan proses produksi, seperti radio atau koran. Berbeda dengan saat ini, menurutnya, semua sudah bercampur aduk dan semua mampu menjadi pembuat dan penyebar informasi. Kondisi tersebut tentu berdampak kepada masyarakat. “Hoaks membuat fakta sulit dipercaya dan memunculkan ketakutan, misalnya pada isu-isu terkait kesehatan dan SARA. Hal yang paling penting adalah memancing amarah seseorang atau sekelompok orang sehingga menimbulkan perpecahan,” sebut Khairil.
Dengan demikian, masyarakat selaku pengguna media perlu memahami regulasi yang tertera pada Undang-Undang Informasi Teknologi Elektronik (UU ITE). Roy menjelaskan bahwa hal ini perlu diingat dan dilaksanakan agar masyarakat sendiri tidak menjadi korban UU ITE. “UU ITE tidak dapat dianggap sederhana. Sebagai pengguna media, kita harus berdiskusi untuk mengetahui komponen dari UU ITE sehingga anda tidak menjadi korban,” ujarnya.
Lalu, ada banyak cara yang dapat digunakan untuk memeriksa fakta dari suatu berita. Khairil mengatakan bahwa hal yang pertama kali Mafindo lakukan adalah menggunakan digital tools. “Kami gunakan digital tools sebagai hoax hunting. Lalu, kita telusuri kanal media sosialnya, cari grup yang dicurigai, dan buka kanal pelaporan hoax pada masyarakat,” jelas Khairil.
Ia pun mengatakan bahwa salah satu tools digital yang paling sering dimanfaatkan adalah search engine, seperti Google, Yandex, Bing, dan DuckDuckGo. Selain itu, ada juga digital tools lainnya yang digunakan, yaitu Wikimapia untuk mengecek lokasi, TinEye guna mengecek gambar, dan Internet Archive buat mengarsip sumber log.
Setelah itu, penggunaan sumber-sumber yang terpercaya pun diharuskan. “Bila media, minimal sudah terdaftar di Dewan Pers. Jika dari artikel luar, medianya harus menyertakan nama penulis, susunan redaksi editornya, dan alamat korespondensi. Terkait isu sains, kami menggunakan jurnal ilmiah atau buku dan juga mengacu pada akun-akun media sosial yang terverifikasi,” lanjutnya.
Berdasarkan hal tersebut, sangat penting bagi masyarakat untuk memahami literasi digital dalam mengonsumsi media. Roy menjelaskan bahwa literasi digital dapat menambah pemahaman tentang cara menggunakan media. Kemudian, hal tersebut juga dapat membuat orang mengetahui, bertanggung jawab, serta berpikir ulang tentang apa yang harus dilakukan dan kapan harus melakukannya. Ia berharap agar semua orang dapat mengecek terlebih dahulu ketika menemukan informasi sehingga tidak terjadi disinformasi.
Rinaldi Oktarinanda