lpmindustria.com – Menurunnya produksi minyak mentah dan meningkatnya kebutuhan BBM membuat pemerintah menghadirkan bahan bakar Biodiesel 20 sebagai alternatfnya. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan dari impor minyak mentah.
Biodiesel 20 (B20) merupakan bahan bakar alternatif yang dibuat dengan mencampurkan bahan bakar solar dengan biodiesel yang dihasilkan dari produk pertanian (minyak nabati). Salah satu sumber minyak nabati ini adalah minyak kelapa sawit yang banyak dimiliki oleh Indonesia. Selain minyak kelapa sawit, biodiesel juga bisa dibuat menggunakan kelapa atau lemak hewan. Dalam istilah perdagangan, biodiesel yang dicampur dengan solar dinyatakan dalam notasi B-XX. B20 menunjukan bahwa bahan bakar tersebut memiliki campuran 20% biodiesel dan 80% solar.
B20 tentunya memiliki perbedaan siginifikan dengan solar, salah satunya terhadap dampak lingkungan. Emisi karbon dioksida yang dihasilkan B20 relatif rendah, yaitu sekitar 78% lebih rendah dari solar sehingga tidak berkontribusi signifikan pada pemanasan global. Meskipun begitu, menurut Bambang Sudarmanta, Kepala Laboratorium Motor Bakar dan Sistem Pembakaran Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), B20 memiliki nilai kalor lebih rendah sekitar 8-10 persen daripada solar. “Dari sisi kalor begitu, tetapi daya tidak mutlak dihasilkan dari kalor saja. Biodiesel punya kelebihan oksigen di dalamnya itu bisa menghasilkan proses oksidasi yang lebih baik dibanding solar,” jelas Bambang Sudarmanta dikutip dari laman cnnindonesia.com.
Munculnya B20 diakibatkan oleh produksi minyak mentah dalam negeri yang terus menurun dan meningkatnya kebutuhan bahan bakar minyak (BBM), sehingga berimbas pada kebutuhan impor BBM yang terus meningkat. Dilansir dari laman detik.com menurut data Kementerian ESDM, produksi BBM rata-rata tiap bulan hanya sebesar 778.505 Barrels Oil Per Day (BOPD). Sementara itu, kebutuhan BBM sudah mencapai sekitar 1.600.000 BOPD. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri, Pertamina harus mengimpor lebih dari 800.000 BOPD. Jika harga ICP (minyak mentah) rata-rata per bulan 67,42 dolar AS/barel, maka dibutuhkan anggaran sekitar 1.620.000.000 dolar AS per bulan atau minimal Rp 24 triliun per bulan.
Mulai 1 September 2018 lalu, pemerintah telah memberlakukan kebijakan mandatori B20. Mandatori ini berlaku terhadap semua jenis mesin diesel termasuk lokomotif kereta dan alat berat. Kebijakan penggunaan dan penerapan B20 ini mendasar pada Perpres Nomor 66 Tahun 2018 serta Peraturan Menteri ESDM Nomor 41 Tahun 2018. Dua regulasi itu mengatur tentang denda Rp6 ribu per liter volume, bagi Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BU BBN) dan BU BBM yang tidak menjalankan mandatori B20. Selain itu sudah ada juga Permen ESDM No. 12 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Permen ESDM No. 32 tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain.
Penetapan mandatori B20 tentu ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh, salah satunya adalah penghematan devisa. “Dengan adanya mandatori B20, setidaknya dapat menghemat devisa sekitar Rp2,85 triliun,” ujar Rida Mulyana selaku Dirjen Kelistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada laman alatberat.com. Per Januari 2019, Kementerian ESDM mengklaim adanya penghematan devisa negara dari impor solar. “Dalam empat bulan, kebijakan masif untuk berbagai sektor menggunakan B20 mampu menghemat sebesar 937,84 juta dolar AS,” ungkap Djoko Siswanto, Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM yang dikutip dari laman Setkab. Secara lebih luas, selain untuk mengurangi ketergantungan impor minyak dan penghematan devisa, mandatori B20 juga berkontribusi terhadap menurunkan emisi CO2 dan sedikitnya akan menurunkan suhu dunia.
Segala kemaslahatan atas adanya program B20, bukan berarti tidak ada polemik yang terselimut dibaliknya, terutama terkait masalah lingkungan. Dilansir dari laman tirto.id, data University of Maryland yang dikutip lembaga pemerhati lingkungan Greenpeace, Indonesia kehilangan sekitar 355,5 ribu hektare hutan sepanjang tahun 2017 lalu. Dari angka itu, sebesar 80.000 hektare di antaranya dipergunakan sebagai perkebunan kelapa sawit. Hal ini pun banyak mendapat perhatian dari para pemerhati lingkungan yang berasumsi bahwa program B20 akan membawa masalah-masalah baru. "Seiring meningkatnya kebutuhan energi tentu akan menambah kebutuhan bahan baku yaitu sawit. Pada akhirnya menimbulkan persoalan baru, misalnya alih fungsi hutan untuk sawit, konflik dengan masyarakat, land grabbing atau pengambilan lahan paksa, serta konflik agraria. Itu akan lebih masif terjadi," jelas Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dikutip dari laman tirto.id.
Izaz Ghozi Murtadho