lpmindustria.com –Smart City sering didefinisikan kota dengan infrastruktur yang terintegrasi dengan teknologi, informasi dan internet. Namun, ternyata faktor yang paling penting dalam berlangsungnya Smart City bukanlah infrastruktur maupun fasilitasnya, melainkan masyarakat itu sendiri.
Mendengar kata smart yang pertama kali terlintas di pikiran kita adalah pintar, namun ternyata smarttidak hanya terkekang dalam satu artian. Smart juga dapat diartikan berpikir di luar kebiasaan, bersifat solutif dan bermanfaat untuk masyarakat. Konsep inilah yang diterapkan pada Smart City. Menurut Abimantra Pradhana selaku founder dari Ago Architecs, Smart City dapat didefinisikan dengan banyak hal, contohnya green city, zero energy city, laboratory city dan lainnya selama bersifat solutif dan berguna bagi masyarakat. Ia mengibaratkan orang pintar yang tidak bermanfaat untuk orang lain tidak dapat disebut smart melainkan selfish, seperti halnya kota yang tidak memberikan manfaat bagi masyarakatnya disebut Selfish City.
Smart City memiliki Area of Sector, yaitu mobility, society, quality of life, environment, government daneconomy. “Smart City yang baik adalah yang dapat menggabungkan semua sektor tersebut sehingga dapat menopang masyarakat bergerak maju,” kata Abimantra Pradhana. Hal terpenting dari Smart Citybukanlah soal bangunan, infrastruktur, ataupun fasilitasnya, melainkan masyarakat di dalamnya. Hal itu senada dengan apa yang diucapkan Ir. Heru W. Poerbo, “Kota sekarang tidak hanya bergantung pada infrastruktur fisiknya, namun akan lebih maju jika modal sosial dan modal intelektual masyarakatnya bisa dimanfaatkan lebih baik,” tutur Ir. Heru W. Poerbo selaku Dosen ITB Jurusan Arsitek
Konsep Smart City awalnya dikembangkan oleh suatu perusahaan ICT (Information Conventional Technology). “Awalnya Konsep Smart City dikembangkan oleh suatu perusahaan ICT (Information Conventional Technology) karena dianggap baik, maka diadopsi oleh negara-negara di Eropa dan dunia,” tutur Heru W. Poerbo. Abimantra memaparkan contoh kota-kota yang sudah menerapkan Smart City, yaitu Bangkok, Osaka, Tokyo dan Singapura. Di Bangkok misalnya, ada ruang terbuka di sebuah retailed space yang dapat diakses oleh publik kapanpun dan dari manapun karena tidak ada penjagaan yang ketat serta menjadi tempat berkumpulnya anak muda serta komunitas dan akhirnya menjadi destinasi wisata bagi para turis. Demikian pula yang terjadi di Osaka, terdapat track untuk lari dan jogging di rooftop sebuah tempat perbelanjaan swasta yang dapat digunakan oleh siapa saja, ketika jam istirahat kantor tiba biasanya digunakan para pegawai dan karyawan untuk olahraga. “Artinya dengan adanya tempat lari tersebut dapat merubah gaya hidup seseorang. Kotanya sehat, masyarakatnya produktif, kotanya pun jadi makin maju,” tambah Abimantra.
Abimantra berpesan bahwa dalam terwujudnya Smart City yang baik arsitek memegang peranan penting, yaitu dalam menciptakan sesuatu hendaknya selalu memperhatikan soal public space, sekalipun di tempat-tempat private agar dapat berguna untuk semua orang. “Saya berharap arsitek dapat bermanfaat bagi lingkungannya, tidak hanya memikirkan tentang bangunannya tapi juga impactatau dampak kepada lingkungannya,” tutup Abimantra.
Izaz Ghozi Murtado