Miftahul Jannah Tidak Seharusnya Didiskualifikasi

lpmindustria.com – Miftahul Jannah merupakan salah satu atlet blind judo kebanggaan Indonesia di ajang olahraga Asian Para Games 2018. Namun, sangat disayangkan Miftahul Jannah tidak dapatmerasakan arena pertandingan lantaran didiskualifikasi.

Miftahul Jannah adalah seorang altet Judoka Indonesia yang berasal dari Aceh dan berkesempatan untuk mengikuti acara olahraga terbesar di Asia, Asian Para Games 2018. Miftahul menjadi salah satu kontingen Indonesia untuk atlet difabel blind judo kelas 52 kg. Namun, pada Senin (8/10) sesaat sebelum pertandingannya melawan Oyun Gantulga judoka dari Mongolia, dia dinyatakan didiskualifikasi karena enggan melepas hijabnya.

Menurut peraturan wasit Federasi Judo Internasional (IJF) dalam peraturannya dituliskan bahwa rambut panjang harus diikat sehingga tidak menimbulkan ketidaknyamanan terhadap kontestan lainnya. Rambut harus diikat dengan pita rambut yang terbuat dari karet atau bahan sejenis yang tidak kaku dan mengandung komponen logam. Kepala tidak boleh ditutupi kecuali untuk pembalutan yang bersifat medis, yang harus mematuhi aturan kerapian kepala. Mengenai hal itu, aturan itu diperkuat lagi dengan oleh International Blind Sport Federation (IBSA). IBSA menjelaskan bahwa, judoka tidak boleh menggunakan hijab saat sesudah memasuki area pertandingan.

Dalam Judo terdapat dua jenis teknik (waza), yaitu bantingan (nage-waza) atau kuncian (katame-waza). Didalam buku Kudokan Joda yang terbit pada 1994, nage-waza bisa dikembangkan menjadi tachi-waza dan sutemi-waza. Sedangkan katame-waza bisa dikembangkan menjadi osaekomi-waza, shime-waza,dan kansetsu-waza. Diantara teknik – teknik tersebut shime-waza adalah yang paling berbahaya untuk pengguna hijab. Shime-waza adalah teknik cekikan yang cukup berbahaya karena berhubungan langsung dengan leher dan tenggorokan. Penggunaan hijab akan mempermudah lawan untuk melakukan teknik ini kepada Miftahul Jannah. Terlebih apabila ada kesalahan yang terjadi pada saat shime-waza maka tidak akan menutup kemungkinan Miftahul Jannah akan mengalami cidera. Dari aturan – aturan yang sudah ada, memang jelas bahwa Miftahul Jannah harus didiskualifikasi.

Namun, tidak ada salahnya jika seorang atlet dipersilakan bertanding dengan menjunjung tinggi sportifitas tanpa merebut prinsip dari keyakinannya. Miftahul Jannah bukan satu – satunya atlet yang tersandung masalah penggunaan hijab pada saat pertandingan. Sebelum Miftahul Jannah, ada kasus yang sama dialami oleh Wodjan Ali Seraj Abdulrahim Shahrkhani, judoka asal Arab Saudi. Wodjan dilarang tampil pada Olimpiade London 2012. Namun, judoka 16 tahun tersebut bisa tampil setelah menggunakan penutup kepala yang menyerupai hijab. Penutup kepala tersebut dinilai aman oleh Mark Adams, selaku Direktur Komunikasi Olimpiade London 2012.

Dilihat dari kasus Wodjan, sebenarnya Miftahul Jannah bisa saja tidak harus didiskualifikasi. Melihat dari aturan yang ada, seharusnya ofisial Tim Judo Indonesia sudah menyiapkan beberapa langkah alternatif. Seperti menyiapkan penutup kepala yang mirip seperti hijab dan dijamin tidak membahayakan dalam pertandingan, membicarakan aturan tersebut dengan pihak penyelenggara, atau bahkan memilih judoka yang tidak berhijab sejak awal. Karena dari kasusnya Miftahul Jannah banyak spekulasi yang dapat timbul seperti isu diskriminasi terhadap satu agama hingga penggiringan opini kepada perpecahan negara. Terlepas dari peran ofisial Tim Judo Indonesia, pemerintah harus ikut ambil peran didalamnya. Karena kelalaian ofisial Judo Indonesia ini juga merupakan kelalaian pemerintah, tanpa menyadari bahwa ada impian wanita difabel yang sirna karena kelalaian orang lain.

 

Oktario Tommy Saputra

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *