Polisi Siber Wujudkan Ruang Digital yang Bersih dalam Demokrasi Indonesia

lpmindustria.com – Dengan mengaktifkan polisi siber, pemerintah mengupayakan terwujudnya ruang digital yang bersih, sehat, dan produktif. Meski begitu, keberadaan polisi siber yang terlihat pada data setimen menunjukkan ketimpangan karena tingginya angka setimen negatif.

Pada Jumat (19/02/21), Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jendral Listyo Sigit telah menandatangani Surat Edaran bernomor: SE/2/11/2021 sebagai tindak lanjut dari penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Jika dibandingkan dengan Surat Kapolri Nomor: SE/6/X/2015, terdapat perbedaan dalam pola pendekatan antar kedua surat edaran tersebut.

Dalam webinar bertajuk “Urgensi Polisi Siber dalam Demokrasi Indonesia” yang digelar oleh Forum Konstitusi dan Demokrasi (Fokdem) pada Jumat (12/03/21), Ferdian Andi selaku peneliti Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) mengatakan, “Pada Surat Edaran Tahun 2015 menggunakan pendekatan reprensif karena terkait dengan penindakan, tetapi surat edaran terbaru ini memiliki tensi preventif yaitu meningkatkan pencegahan terlebih dahulu dibanding penindakan yang kemudian melahirkan polisi siber.”

Dahulu terdapat sejumlah produk legislasi dan regulasi yang menunjukan sikap “jalan pintas” dari pemerintah dalam merespon polutan-polutan yang ada di media sosial. “Seperti pada Permenkominfo No. 19 Tahun 2014 tentang situs Internet Bermuatan Negatif, saya menangkap ada keterkejutan atas masifnya media sosial,” pungkas Ferdian.

Lebih lanjut dengan ini, menurutnya, orang akan bebas berpendapat, mengkritik, dan memaki. “Oleh karena itu, edukasi literasi publik kepada khalayak mengenai pemahaman tentang etika bermedia sosial jauh lebih penting dari pada menggunakan pendekatan jalan pintas,” ungkap Ferdinan. Selain itu, ia turut menambahkan bahwa surat edaran Kapolri tahun 2021 sebagai landasan yuridis polisi siber dan bentuk upaya pemerintah mengimbangi ketersediaan regulasi dengan memberikan ruang edukasi kepada publik.

Realisasinya, anggota tim polisi siber akan memantau aktivitas yang ada di sosial media dan menindaklanjuti konten yang berpotensi melanggar UU ITE. “Ketika polisi siber menemukan konten yang terindikasi melanggar pidana, maka polisi akan mengirimkan peringatan melalui Direct Massage (DM) ke pemilik akun setelah melakukan kajian terhadap konten tersebut dengan melibatkan ahli bahasa, ahli pidana, hingga ahli ITE,” ungkap Brigadir Jenderal Slamet Uliandi selaku Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri pada laman CNN Indonesia.  

Peringatan yang dimaksudkan yaitu meminta pemilik akun untuk segera menghapus konten terkait dalam kurun waktu 1×24 jam. Selanjutnya, ia menyampaikan bahwa jika diketahui postingan tersebut belum diturunkan oleh pemilik akun, penyidik akan memberi peringatan kembali sebanyak satu kali. Namun jika peringatan yang kedua tidak mendapat respon, tim polisi siber akan memanggil pemilik akun untuk diklarifikasi serta melakukan upaya penindakan sebagai langkah terakhir.

Dalam webinar tersebut, Heri Widodo selaku Komisi III DPR RI turut menjelaskan bahwa urgensi utama polisi siber sendiri adalah untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber. Lanjutnya, ia mengatakan bahwa, “Adanya Undang Undang No. 19 Tahun 2016 tentang UU ITE nyatanya belum mampu menekan keberadaan tindak pidana siber karena masih ada kekurangan didalamnya. Maka dari itu, polisi siber bertujuan menyadarkan masyarakat umum agar lebih aman dalam bermedia sosial.”

Hal serupa pun disampaikan oleh Irwan Saputra selaku Chief Executive Officer (CEO) One Click Democration (OCD) yang merupakan pengembang aplikasi yang fokus mengawal demokrasi Indonesia. Banyak kejahatan digital yang butuh penanganan khusus dari polisi siber. “Berdasarkan data statistik laporan pada patrolisiber.id, jumlah pengaduan tertinggi terdapat di masalah penipuan, pornografi, ancaman, dan hoax. Oleh karena itu, menurutnya dengan adanya polisi siber ini, pemerintah bermaksud untuk menangani masalah-masalah tersebut.”

Akan tetapi, ketika ia melakukan pencarian pada media monitoring mengenai sentimen (baca: pendapat) publik akan kata kunci ‘polisi siber’ dalam kurun waktu sebulan maka terlihat penilaian masyarakat. “Terdapat 193 sentimen negatif dari media blog, news, dan web, serta sentimen positif yang ditemukan hanya sekitar 34. Hasil ini menujukkan adanya ketimpangan,” ujar Irwan.

Lebih lanjut terkait sentimen negatif dari publik, Irwan menjelaskan bahwa hal itu dikarenakan adanya persepsi ancaman pada masyarakat mengenai diaktifkannya polisi siber. “Pertama masyarakat merasa selalu diawasi dan dimata-matai, kemudian diperkeruh oleh buzzer karena adanya pihak-pihak berkepentingan yang ingin menyerang pemerintah.” Selain itu, maraknya pemberitaan dengan judul yang menimbulkan persepsi negatif terkait polisi siber serta kurangnya sosialisai dan edukasi ke masyarakat juga turut mempengaruhi hal tersebut.

Melihat sentimen negatif tersebut, menurutnya, polisi siber perlu membuat image, regulasi, edukasi dan komunikasi yang lebih baik terhadap publik. “Sebaiknya polisi siber hadir dengan tampilan yang lebih humanis, muda, dan hero, mengikuti aturan main Surat Edaran Kapolri Tahun 2021 serta menciptakan komunikasi yang terbuka dan asik. Karena hingga saat ini, polisi siber tidak punya akun sosial media untuk kehumasannya,” tutur Irwan.

Dengan demikian, Ferdian turut mengharapkan agar pemerintah melakukan langkah yang simultan terkait upaya mendemokratisasi ranah siber. “Mimpi adanya budaya siber yang baik akan sia-sia jika aturan induknya belum diperbaiki. Maka, saya berharap betul agar perubahan UU ITE masuk ke dalam daftar prioritas dan memaksimalkan edukasi literasi untuk memfasilitasi amanat konstitusi Pasal 28 UUD 45 tentang kebebasan berpendapat,” tutupnya.

Penulis:  Ramadina Halimatus Sa’diah
Editor: Ela Auliyana

 

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *