lpmindustria.com – Pemerintah telah menghapus limbah batu bara atau Fly Ash and Bottom Ash (FABA) dari jenis limbah dari bahan berbahaya dan beracun (B3). Hal ini dianggap berbahaya karena FABA dapat berdampak buruk terhadap kesehatan.
Dilansir dari KompasTV, pemerintah akhirnya memutuskan penghapusan FABA dari daftar limbah B3 pada Selasa (02/02). Penghapusan ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan itu sendiri merupakan turunan dari UU Cipta Kerja (Omnibus Law) Nomor 1 Tahun 2020.
Pada peraturan tersebut, tepatnya pada Pasal 459, dijelaskan bahwa debu hasil pembakaran batu bara dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan kegiatannya tidak termasuk limbah B3. “Pemanfaatan limbah non-B3 sebagai bahan baku yaitu pemanfaatan limbah non-B3 khusus seperti fly ash (baca: debu) batu bara dari kegiatan PLTU dengan teknologi boiler minimal Ciraiating Fluidized Bed (CFB) dimanfaatkan sebagai bahan baku konstruksi pengganti semen pozzolan,” tertulis dalam beleid tersebut, sebagaimana yang tertulis di KompasTV.
Menurut Iwan Setiawan sebagai seorang peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), FABA adalah sisa atau limbah dari pembakaran batu bara. “Batu bara yang dibakar menghasilkan produk sisa berupa material-material yang terbang dan terendapkan. Material yang terbang itu disebut fly ash, sedangkan yang terendap di bawah adalah bottom ash,” ujarnya yang dilansir dalam laman Kompas.com.
Dalam sebuah kicauan Twitter dari Trend Asia dengan username @TrendAsia_Org mengungkapkan bahwa penghapusan tersebut tidak luput adanya dorongan atau pengaruh dari kalangan pengusaha. Tren Asia sendiri merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat yang begerak di bidang kesehatan lingkungan alam. “Peraturan penghapusan limbah batu bara dari kategori limbah B3 tidak terlepas dari desakan simultan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI-ICMA) yang menjadi bagian di dalamnya sejak pertengahan tahun 2020,” pungkasnya.
Lebih lanjut, cuitan tersebut juga menjelaskan bahwa limbah batu bara sangat berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat karena mengandung banyak sekali senyawa kimia seperti arsenik, timbal, merkuri, kromium, dan lain-lain. “Karena hal tersebut, mayoritas negara di dunia masih memasukkan limbah batu bara ke dalam limbah B3,” ungkap Trend Asia dalam akun Twitternya.
Hal yang berbeda disampaikan oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Apindo, Haryadi B. Sukamdan yang dikutip dari apbi-icma.org. “Sebanyak enam belas asosiasi di Apindo sepakat mengenai penghapusan FABA karena berdasarkan hasil uji pun dinyatakan bahwa FABA bukanlah limbah B3,” jelasnya.
Peneliti dan Pengampanye Trend Asia bernama Andri Prasetyo menyebutkan bahwa peraturan ini hanya memberikan hak khusus pada industri yang tidak bertanggung jawab. ”Penghapusan FABA dari kategori limbah berbahaya ini adalah bagian dari Paket Kebijakan Besar (Grand Policy) yang secara sistematis dirancang untuk memberikan keistimewaan bagi industri energi kotor batu bara mulai dari hulu hingga ke hilir,” tegasnya yang dilansir dari artikel dunia-energi.com.
Selanjutnya pada artikel yang sama, Fajri Fadhillah dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) membeberkan dampak dari limbah tersebut sangat parah bagi lingkungan. Hal ini dikarenakan limbah tersebut mengandung unsur-unsur yang bersifat karsinogenik (baca: bersifat menyebabkan penyakit kanker), neutrotoksin (baca: toksin yang beraksi di sel saraf, neuron, biasanya berinteraksi pada protein membran), dan beracun bagi manusia, ikan, biota air, serta satwa liar. “Alih-alih memperkuat implementasi pengawasan dan penjatuhan sanksi pengelolaan abu batu bara dari pembangkit yang akan memperkecil risiko paparan, pemerintah justru melonggarkan aturan pengelolaan abu batu bara dengan mengeluarkannya dari daftar limbah B3,” tegasnya
Tak hanya itu, Ketua Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan, Agus Dwi Susanto menjelaskan juga mengenai dampak FABA terhadap kerusakan pada paru-paru. “Kasus ini umumnya muncul pada pekerja batu bara, nama lainnya coal workers pneumoconiosis. Hal ini dapat terjadi karena debu batu bara menumpuk di paru-paru, lama-kelamaan tumpukan batu bara itu akan mengeraskan jaringan paru-paru dan menurunkan fungsinya,” jelasnya.
Terkait kebijakan ini, Trend Asia pun juga menjelaskan bahwa Keputusan pemerintah menghapus limbah batu bara dari kategori limbah berbahaya dan beracun (B3) adalah keputusan bermasalah dan sebuah kabar sangat buruk bagi kelestarian lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat.
Sedangkan menurut seorang Koordinator Jaringan Advokasi Tambang, Merah Johansyah, regulasi ini sebenarnya dibuat untuk kepentingan perusahaan yang ingin mengurangi biaya dari pengolahan limbah batu bara saja. “Jadi dari Jaringan Advokasi Batam (Jatam), kami usul Pak Presiden dan juga yang di Istana untuk mencoba berkantor di dekat PLTU batu bara dan hirup abu batu bara. Lalu, lihat juga bagaimana masyarakat sekitar sesak napas dan paru-parunya ada yang bolong karena abu ini," tutupnya pada BBC News Indonesia, Kamis (11/03).
Penulis: Kevin Kahlil Akbar
Editor: Silvia Andini