lpmindustri.com – Kesepakatan pemerintah untuk menaikkan tarif cukai rokok menimbulkan keluhan dari berbagai sisi masyarakat maupun produsen rokok. Adapun alasan dari kebijakan ini adalah untuk menurunkan angka prevalensi merokok di kalangan remaja.
Dilansir dari unggahan akun Instagram @kemenkeuri, Menteri Keuangan Sri Mulyani resmi menaikkan tarif cukai rokok rata-rata sebesar dua belas persen melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 192/PMK.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun Atau Klobot, dan Tembakau Iris. PMK ini berlaku sejak 1 Januari 2022.
Selain cukai rokok, pemerintah menaikkan batasan minimal Harga Jual Eceran (HJE) rokok untuk menyesuaikan kenaikan tarif cukai. Berdasarkan data Kementerian Keuangan RI, kenaikan tarif paling tinggi di golongan Sigaret Putih Mesin (SPM) IIB sebesar 14,4% dan harga jual eceran tertinggi di golongan SPM I sebesar Rp40.100.
Dilansir dari laman pajak.go.id yang ditulis oleh Ade Yusuf, seorang pegawai Direktorat Jenderal Pajak, pertimbangan kenaikan tarif cukai rokok diawali oleh target pemerintah RI sebesar Rp194 triliun atau naik 11,6% untuk sektor Cukai Hasil Tembakau (CHT). Selain itu, prevalensi (baca: kebiasaan) merokok untuk remaja usia 10-18 tahun ditargetkan turun ke level 8,7% pada 2024 dari 9,1% pada 2018 sesuai data Riset Kesehatan Dasar (Riskedas). Penurunan konsumsi juga diharapkan terjadi ketika cukai dinaikkan. Harapan dari harga rokok yang semakin mahal dapat menekan daya beli masyarakat, sehingga angka kesehatan semakin naik.
Terkait hal tersebut, Penulis juga menyadari akan tingginya konsumsi rokok di kalangan remaja yang berusia 10-18 tahun. Kita sering kali melihat banyak anak-anak yang bahkan masih berseragam Sekolah Dasar (SD) secara sadar merokok, lalu merekam dan mengunggah hal tersebut ke media sosialnya.
Berdasarkan Riskesdas tahun 2007 dan 2013, jumlah perokok setiap harinya naik pada tahun 2013 sebesar 24,3% dari tahun 2007 sebesar 23,7%. Tren usia mulai merokok pada tahun tersebut berada di usia 15-19 tahun sebesar 55,4%. Menurut penulis, hal ini didasari oleh rasa penasaran dan semakin terbukanya akses merokok, seperti teman-teman tongkrongan sekolah yang merokok kemudian tidak ingin dianggap culun.
Namun menurut penulis, jika kenaikan tarif cukai ini hanya untuk meredam angka prevalensi merokok di usia remaja, itu sangat tidak adil. Seperti sebuah aliran sungai yang dihadang batu, tentunya arus sungai semakin keras dan akan mengikis batu hingga hancur. Artinya diperlukan intervensi yang baik untuk dapat mengurangi tingkat konsumsi rokok, alih-alih menaikkan tarif cukai yang akan memberatkan pihak produsen rokok dan perokok aktif.
Kita ambil sebuah contoh, ketika harga rokok naik perokok A yang merokok merek A akan dapat beralih ke harga rokok yang lebih murah seperti rokok merek B. Tentunya tingkat penerimaan cukai dari kedua merek rokok ini dapat berbeda sesuai dengan golongan rokoknya, dapat semakin rendah ataupun mahal. Hal ini memberatkan produsen rokok ketika produknya tidak laku dan juga dapat menjadi bumerang bagi pemerintah ketika masyarakat beralih ke golongan rokok yang tarif cukainya lebih rendah, ataupun masyarakat membeli tembakau langsung dari petani tentunya tidak akan tercapai target penerimaan pajak dari CHT ini.
Selain menaikkan tarif CHT, pemerintah RI harus dapat bersikap tegas untuk memberantas rokok ilegal yang beredar di toko online. Selain membuat lingkungan nyaman bagi para produsen rokok, hal ini juga bisa mengatasi kerugian negara yang disebabkan oleh rokok ilegal.
Semakin tinggi kenaikan tarif cukai, penulis berharap kepada pemerintah agar ini tidak hanya semata-mata ditargetkan untuk penerimaan pajak, namun perlu hubungan timbal balik bagi produsen dan juga masyarakat. Perlunya ide cemerlang untuk bisa menekan angka perokok adalah suatu keharusan bagi penulis dibandingkan hanya menaikkan tarif cukai semata.
Penulis: Lingga Ikhtiar
Editor: Artha Julia