lpmindustria.com – Melalui RUU PKS, seharusnya korban kejahatan seksual dapat merasa terlindungi. Namun pada kenyataannya, RUU ini tak kunjung disahkan dan malah mengalami penarikan.
Di kalangan masyarakat, pembahasan mengenai kejahatan seksual marak diperbincangkan. Berbagai stigma dan polemik yang timbul karenanya pun acap kali datang sebagai hasil pembicaraan yang menyudutkan korban. Oleh karena itu, sebagaimana yang tertera dalam Pasal 1 Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), RUU PKS hadir untuk memberi hak-hak korban serta menjadi payung hukum baginya.
Berdasarkan data yang yang disebutkan Komnas Perempuan pada laman sbmi.or.id, jumlah kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) meningkat dari 406.178 di 2018 kasus menjadi 431.471 kasus di 2019 (atau naik sebesar 6%). Kemudian, dari data tersebut diketahui bahwa jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)/ Ranah Personal (RP) menjadi jenis yang paling menonjol. Dimana ranah pribadi yang paling banyak dilaporkan diantaranya mengalami kekerasan seksual. Bahkan, menurut data yang dikumpulkan dari 29 Februari hingga 5 Juni yang dimuat dalam tempo.co, terdapat 710 kasus kekerasan yang berbentuk kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran.
Pada laman yang sama, Komnas Perempuan mengatakan bahwa kenaikan angka itu dipicu oleh stres, terganggunya jejaring perlindungan sosial, hilangnya pendapatan, dan menurunnya akses ke layanan publik. Tetapi lebih jauh lagi, hal ini dikarenakan oleh RUU PKS yang tak kunjung mendapat pengesahan. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yambise pun mengatakan hal serupa dalam artikel kompas.com, “Angka korban yang setiap saat ada, kekerasan terhadap perempuan cukup tinggi, korban berada di mana-mana, yang memang belum bisa ditangani secara baik hukumnya karena legalitas hukumnya belum ada.”
Walau jumlah kasus kekerasan seksual mengalami peningkatan, RUU PKS yang telah masuk dalam Prolegnas Prioritas sejak 2016 ini malah dicabut dalam rapat evaluasi Prolegnas Prioritas 2020. Terkait hal ini, dikutip dari laman jawapos.com, Marwan Dasopang selaku Wakil Ketua Komisi VIII mengatakan bahwa pembahasan RUU PKS saat ini sulit dilakukan. Ia juga beralasan bahwa sejak periode lalu pembahasan RUU PKS masih terbentur mengenai judul dan definisi kekerasan seksual. Selain itu, aturan mengenai pemidanaan juga masih menjadi perdebatan.
Dengan berkaca dari beberapa hal di atas, tentunya keputusan ini membuat masyarakat terutama perempuan kecewa dan resah. Pasalnya, dari ketidakjelasan hukum yang ada ini akan menyebabkan kejahatan seksual semakin merajalela dan tidak berhenti. Hukum yang lemah pun mampu mengakibatkan para korban lebih memilih diam daripada mengadu. Apalagi, di saat kejahatan seksual meningkat dan berikut banyak keterbatasan di tengah pandemi. Terlebih alasannya yang sulit dibahas membuat masyarakat beranggapan bahwa DPR tak punya kemauan politik dan tak ada niat untuk menghentikan kejahatan seksual.
Pada dasarnya semua orang berhak memperoleh keadilan, oleh karena itu sudah menjadi kewajiban kita untuk melaporkan kejadian kekerasan seksual yang terjadi di sekitar kita. Tetapi apa jadinya jika tidak ada undang-undang sebagai rujukan untuk memberikan efek jera bagi para pelaku dan perlindungan bagi para korban? Berapa banyak kasus lagi yang akan terjadi? Berapa generasi lagi yang masa depannya akan hancur? Akankah pemerintah terus mengangap sepele kejahatan seksual yang terjadi di Indonesia?
Silvia Andini