Seni Kasta Terendah

Sekitar setengah jam, aku duduk di pangkuan Nenek yang sibuk mengipas-ngipaskan lipatan kardus ke arah kami berdua di dalam Kopaja yang sesak dan panas. Sudah menjadi jadwal rutin baginya untuk setiap bulannya pergi ke arisan keluarga. Biasanya aku dititipkan ke rumah tetangga ketika Nenek pergi, tapi entah kenapa kali ini ia sangat bersikukuh membawaku dengannya meskipun aku sudah menolak dan merengek habis-habisan di rumah. Pernah sekali, aku diajak ke rumah saudara dan aku sangat benci pengalaman itu. Rasanya seperti mengunjungi pameran yang sangat jelek yang bukan memamerkan karya atau seni melainkan angka. Nominal gaji yang mereka dapat, berapa mobil yang mereka punya, dan angka-angka yang mereka pikir pantas untuk dibanggakan. Aku tak pernah berpikir tempat itu cocok untuk Nenek, dia tak punya uang maupun mobil. Bahkan, anaknya pun sudah setahun ini menelantarkannya tanpa meninggalkan harta dan pesan. Kami terlalu miskin dan menyedihkan untuk dipajang, tapi anehnya dia tetap mau mengabdi dan menghadiri pameran usang itu.

“Kalau di sana ada yang menanyakan emak-bapakmu, bilang saja mereka kerja di Amerika,” ujar Nenek sembari memindahkanku duduk ke bangku sebelahnya yang baru saja ditinggalkan seseorang.

Seorang kenek pun menghampiri kami untuk menagih uang perjalanan dan Nenek langsung memberikan beberapa uang koin yang sudah ia genggam di sepanjang perjalanan. Kulihat gerombolan gelang emas di lengan Nenek saat ia menjulurkan tangannya tadi. Aku menjadi khawatir karena sering melihat berita penjambretan di televisi.

“Nenek gelangnya silau, bahaya juga, diletakan di rumah aja harusnya,” ucapku.

“Nenek harus pakai ini kalau ke rumah Omamu biar tidak direndahkan,” kata Nenek sambil menepis dan menyembunyikan tangannya. Aku tahu betul bahwa hanya itu hal berharga yang ia punya, Nenek pernah bercerita bahwa gelang itu peninggalan Ibunya yang tidak akan pernah Nenek jual bahkan jika kami harus kelaparan sekalipun. Tapi lihat sekarang, Nenek justru membawa gelang-gelang norak itu ke tempat yang rawan kejahatan.

Karena mual berlama-lama di dalam Kopaja yang terus berguncang ditambah memikirkan tingkah Nenek yang aneh, membuatku memilih untuk tidur saja. Meskipun rasanya tidak begitu lama aku tertidur, tetapi aku sudah berada di sofa rumah Omaku begitu membuka mata. Nenek pasti menggendongku sejak turun dari Kopaja hingga sampai rumah ini. Padahal, ia sering mengeluh punggung dan pinggangnya yang sakit.

Benar-benar totalitasnya itu, aku tidak bisa memahami jalan pikirnya sama sekali. Dengan mata yang masih mengantuk dan setengah sadar, kulihat Nenek yang mondar-mandir menyajikan makanan dan minuman, sementara yang lain hanya menyumbang terima kasih dan pura-pura sibuk mengobrol topik tidak penting. Ketika topik obrolannya berubah menjadi membahas pencapaian anak dan cucu mereka di sekolah, Nenek dengan lihai ikut duduk dan nimbrung, mulai menyombongkan aku yang baru saja naik ke kelas tiga dengan peringkat pertama di sekolah. Ternyata, itulah alasan aku dibawa ke tempat aneh ini, sekarang sedang shift-ku menjadi pajangan rupanya.

Orang-orang bertepuk tangan dan memberikan selamat kepadaku dan Nenek. Aku yang awalnya sedang tiduran langsung terperanjat bangun dan pergi ke belakang karena malu. Tiba-tiba teringat kalau sedang terpaksa pergi ke acara keluarga, biasanya aku dan Nenek ke belakang untuk mencuci piring dan bersih-bersih dapur. Sekarang justru aku menemukan sepupu yang sepantaran denganku sedang mengelap piring-piring yang habis dicuci. Dengan segera, aku mencoba membantunya, tapi ia menggeleng dan menolak. “Kali ini gak usah, santai saja. Kalau angkamu cantik, kamu berhak menjadi orang-orang songong itu,” ucapnya.

Penulis: Ramadina Halimatus Sa’adiah
Editor: Ela Auliyana

 

 

 

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *