FOMO, Sindrom Akibat Ketergantungan Terhadap Media Sosial

lpmindustria.com – Bermain sosial media adalah salah satu kegiatan yang sering dilakukan saat ini. Namun ternyata, hal ini dapat disebabkan oleh sindrom FOMO yang dapat menyebabkan dampak negatif bagi orang tersebut.

FoMO adalah singkatan dari Fear of Missing Out atau dalam Bahasa Indonesia berarti ‘takut ketinggalan’. Sebagaimana dilansir dari jurnal masyarakat dan budaya vol. 21 yang berjudul “Gaya Hidup Mahasiswa Pengidap Fear of Missing Out di Kota Palembang”, Przybylski, Murayama, DeHaan, dan Gladwell (2013) mengemukakan bahwa FoMO adalah rasa perasaan cemas, gelisah, dan takut akan kehilangan momen berharga yang dimiliki oleh kelompok teman sebaya di mana ia tidak dapat terlibat di dalamnya. Adapun salah satu bentuknya yaitu kecemasan yang ditandai dengan adanya keinginan untuk selalu mengetahui apa yang orang lain lakukan terutama melalui media sosial dengan tiga indikator FoMO yaitu ketakutan, kekhawatiran, dan kecemasan.

Melansir dari modalrakyat.id, salah satu contoh FOMO adalah tetap terpaku pada ponsel karena merasa koneksi sosial, sehingga tidak mau melewati pembaruan status orang lain. Meskipun hal itu dapat dilakukan pada saat bersantai, atau bahkan ketika sedang duduk di ruang tunggu, ternyata tidak sehat jika terus menerus menekan tombol refresh di media sosial.

Hasil pengamatan yang dilakukan Andrew Pryzybylski pada laman kumparan.com menunjukkan bahwa pengidap FoMO akut bisa sampai mengabaikan kebutuhan fundamentalnya demi bisa terus online. Baginya, jangan sampai ada postingan atau update yang tertingal karena ia tidak mengeceknya. Ketika kebutuhan utama terabaikan, tentunya hal ini bisa berdampak buruk terhadap kesehatan dan kemampuan fokusnya pun juga akan menurun. Setiap kali ada notifikasi masuk ke smartphone akan membuyarkan konsentrasinya.

Mengutip dari jurnal psikologi yang berjudul “Ketakutan Akan Kehilangan Momen (FoMO) Pada Remaja Kota Samarinda”, FOMO muncul karena tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis akan diri sendiri. individu tersebut merasa kurang nyaman atau tidak dapat memenuhi keinginan dirinya sendiri, sehingga media sosial dapat menyebabkan seseorang mengalami gejala Fear of Missing Out.

Selain itu dalam jurnal tersebut tertulis, Abel Jessica (2016) yang turut melakukan penelitian mengenai Social Media and the Fear of Missing Out: Scale Development and Assessment  menjelaskan bahwa seseorang dapat dikatakan FOMO apabila ia mengalami gejala-gejala, seperti tidak dapat melepaskan diri dari ponsel, cemas dan gelisah jika belum mengecek akun media sosial. Selain itu, orang tersebut juga lebih mementingkan berkomunikasi dengan rekan-rekannya di media sosial, terobsesi dengan status dan postingan orang lain, serta selalu ingin eksis dengan menmbagikan setiap kegiatannya dan merasa depresi jika sedikit orang yang melihat akunnya.

Tak hanya itu, dinyatakan juga bahwa FOMO dapat membawa dampak yang kurang baik bagi diri seseorang. Dampak yang ditimbulkan ialah ketakutan akan kehilangan momen yang dialami seseorang diantaranya yaitu tidak peduli terhadap diri sendiri dan sekitar karena sibuk dengan smartphone atau gadget. Lalu, FOMO juga akan mengganggu waktu tidur dan makan, tidak dapat sepenuhnya menikmati kebersamaan di dunia nyata, serta cenderung merasa kurang dengan apa yang telah dimiliki.

Melansir dari journal of counsoling, Education and society yang berjudul “Tingkat Kecenderungan FoMO (Fear of Missing Out) Pada Generasi Milenial”, bahwa terdapat beberapa cara yang dikemukakan oleh Martha Beck seorang sosiolog yang sebelumnya didiagnosa mengalami FoMO (Dossey, 2014) yaitu sadarilah bahwa FoMO didasarkan pada sebuah kebohongan, seseorang yang memposting aktivitasnya di situs media sosial telah memilih bagian mana dari aktivitas tersebut yang akan dibagikan.

Langkah selanjutnya, lawan FOMO dengan mengubah pola pikir, seorang dapat memakai diksi yang berbeda. Misalnya FOMO yang dimaksud adalah Feel Okay More Often atau dalam bahasa Indonesia berarti lebih sering merasa lebih baik. Terakhir adalah memutuskan untuk berhenti, mengurangi waktu penggunaan media sosial, dan menyadari bahwa berinteraksi secara langsung lebih menyenangkan dibandingkan melalui media sosial.

Penulis: Ela Auliyana
Editor: Silvia Andini

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *