lpmindustria.com – Pesatnya perkembangan cyrptocurrency telah menarik jutaan orang di berbagai dunia untuk melakukan penambangan Bitcoin. Sayangnya, hal tersebut berdampak negatif bagi lingkungan.
Cryptocurrency sendiri merupakan mata uang digital yang bekerja dengan sistem blockchain serta menggunakan enkripsi (baca: kode) yang rumit untuk keamanannya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan mata uang digital tersebut diperlukan perangkat komputer yang canggih. Seperti yang tertulis pada luno.com, “Untuk melakukan pemrosesan mining dengan cara yang aman, komputer-komputer perlu melakukan kalkulasi kompleks yang memakan usaha komputasi yang sangat besar, sehingga dibutuhkan juga energi yang besar serta alat-alat khusus yang canggih.”
Pada laman digiconomist.net per 11 Juni 2021 diperkirakan total energi yang dikonsumsi untuk mining (baca: menambang) Bitcoin dapat mencapai 146 Terawatt Hour (TwH) per tahunnya. Berdasarkan perkiraan tersebut, kebutuhan energi untuk melakukan mining Bitcoin dipastikan setara dengan tiga puluh besar negara yang kebutuhan konsumsi energinya tertinggi setiap tahun.
Hal ini seperti yang disampaikan pada laman livemint.com. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Universitas Cambridge, penambangan Bitcoin membutuhkan energi listrik lebih dari 120 TwH setiap tahunnya. Nilai ini melampaui kebutuhan listrik per tahun negara lain seperti Malaysia, Swedia, dan Argentina. Dari penelitian tersebut juga disimpulkan bahwa apabila penambangan mata uang kripto adalah sebuah negara, ia masuk ke dalam tiga puluh besar negara dengan kebutuhan listrik terbesar setiap tahunnya.
Tidak hanya kebutuhan konsumsi energi yang besar, kegiatan mining ini juga menghasilkan emisi gas karbon yang besar. Data dari laman digiconomist.net menunjukkan kalau jejak karbon yang dihasilkan dari kegiatan mining ini mencapai 69.63 Metrik ton (Mt) karbondioksida. Dengan total konsumsi energi serta emisi yang besar, tentunya akan berbahaya bagi masa depan bumi. Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal peer-review Nature Climate Change menemukan bahwa Bitcoin sendiri dapat menghasilkan emisi yang cukup untuk meningkatkan suhu global sebesar 2°C pada tahun 2033.
Salah satu peneliti dalam jurnal tersebut juga berpendapat bahwa Bitcoin dapat dimasukkan dalam salah satu kontributor utama dalam perubahan iklim. “Saat ini, emisi dari transportasi, perumahan dan makanan dianggap sebagai kontributor utama perubahan iklim yang sedang berlangsung. Penelitian ini menggambarkan bahwa Bitcoin harus ditambahkan ke daftar ini,” ujar Katie Taladay, mahasiswa master UH Manoa dan rekan penulis makalah tersebut.
Melihat dampak tersebut, beberapa negara telah memiliki penggunaan energi alternatif untuk para penambang demi meminimalkan dampak negatif dan penggunaan konsumsi energi fosil. Seperti yang disampaikan pada web wanaswara.com, Norwegia dan Islandia telah melakukan terobosan dengan mendirikan fasilitas cryptocurrency mining yang sebagian besar didukung oleh energi listrik dari sumber energi terbarukan (selain juga iklimnya yang ideal untuk menjaga server tetap dingin). Sementara itu, juga disebukan bahwa Mongolia sebagai negara yang bebas emisi karbon melarang untuk melakukan penambangan cryptocurrency.
Lebih lanjut, pada laman yang sama disampaikan jenis mata uang kripto yang ramah lingkungan pun bermunculan, seperti Cardano yang diklaim lebih hemat energi dari pada Bitcoin. Hal ini dikarenakan penerapan teknologi blockchain “Proof-of-Stake” pada Cardano. Adapun teknologi ini bisa memvalidasi transaksi berdasarkan jumlah koin koin yang dipegang oleh orang yang ada di jaringan Cardano, bukan jumlah kekuatan pemrosesan komputasi yang mereka miliki.
Penulis: Aldi Ihza Maula
Editor: Ela Auliyana