lpmindustria.com – Fenomena cancel culture marak terjadi di media sosial. Tak jarang tindakan ini berujung pada aksi mengucilkan korban. Semua orang dapat menjadi korban cancel culture, namun seringnya fenomena terjadi pada tokoh masyarakat.
Dilansir dari laman djkn.kemenkeu.go.id, cancel culture merupakan suatu tindakan untuk meng-cancel atau menghentikan dukungan kepada seseorang dikarenakan orang tersebut telah melakukan hal yang menyinggung atau kurang menyenangkan, hal ini populer terjadi di media sosial. Ketika seseorang telah dinyatakan di-cancel, maka suara dari orang tersebut tidak lagi didengar publik.
Salah satu contoh kasusnya, terjadi pada salah satu influencer tanah air yang mendapatkan cancel culture dikarenakan kasus kaburnya dari karantina. Hal ini memicu kemarahan masyarakat yang berujung pada tindakan pemboikotan massal kepada influencer tersebut. Tindakan cancel culture ini mendatangkan berbagai dampak, baik bagi pelaku maupun korbannya. Disadur dari laman jatim.antaranews.com, dalam sudut pandang positif cancel culture dianggap efektif mengatasi dan menumpaskan tindakan rasisme, pelecehan, seksisme, dan beberapa perbuatan merugikan lainnya. Adanya cancel culture ini dinilai mampu untuk mengecam tindakan menyimpang yang dilakukan seseorang sehingga setiap orang dapat lebih berpikir dalam bertindak dan menjadi lebih bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya. Namun, meski terdapat dampak positif, cancel culture ini dapat pula berdampak pada kesehatan mental sang korban.
Dilansir dari laman alodokter.com, walaupun cancel culture dapat menyadarkan korban atas kesalahannya, namun tak jarang tindakan ini berujung pada penyerangan yang berlebihan atau bullying. Tentunya dapat menyebabkan korban menjadi dikucilkan sehingga tak jarang banyak korban yang mengalami depresi, gangguan kecemasan, hingga bunuh diri. Resiko ini berpengaruh pada psikologis korban. Disamping itu, para pelaku pun tak luput merasakan dampaknya. Hal tersebut bisa terjadi jika cancel culture ini tidak berhasil menyadarkan korban yang mana justru membuat korban semakin merasa tertantang untuk mempertahankan ego dan reputasinya. Dimana nantinya, pelaku cancel culture ini akan menelan emosi negatif ke dirinya, seperti perasaan kesal, marah, frustasi dan menurunkan rasa empati pelaku.
Dilansir dari laman psikologi.uinjkt.ac.id, Dr. Yunita Faela Nisa, M.Psi., seorang Psikolog, menyampaikan pendapatnya dalam Webinar Cancel Culture terkait pentingnya memahami fenomena cancel culture di media sosial. “Perilaku apapun di dunia maya tetap harus menjunjung etika. Pertimbangkan ketika anda semua melakukan sesuatu di dunia maya, like, comment, share, apalagi melakukan cancel culture. Ukurannya adalah apakah bermanfaat, apakah akan menimbulkan kebencian, apakah mengganggu orang lain? Ini harus jadi pertimbangan” ujar Dr. Yunita.
Terdapat berbagai cara untuk menghindari dan menghadapi cancel culture, yaitu berpikir matang sebelum memposting konten di media sosial, membaca berita dengan bijak dan memastikan kebenaran dari berita tersebut. Selain itu, bertindak bijaksana dalam beropini di media sosial, segala tindakan yang dilakukan harus dilandasi dengan kepala dingin.
Penulis : Putri Yolanda
Editor : Az-zahra Nurwanda