Perkembangan Batik sebagai Kebudayaan Wangsa Mataram

lpmindustria – Batik merupakan salah satu warisan budaya dari Kerajaan Mataram. Namun, banyak kesalahan penggunaan batik ini yang dilakukan oleh masyarakat saat ini.

Dua hari setelah terjadinya Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua bagian, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, terbentuk Perjanjian Jatisari yang membahas mengenai identitas kedua wilayah kerajaan tersebut. Salah satu pembahasan dalam Perjanjian Jatisari adalah mengenai kebudayaan batik. “Perjanjian Jatisari membuat perbedaan antara Surakarta dengan Jogjakarta,” ujar Gusti Kanjeng Raden Bendara dari Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. 

Jenis batik yang dimiliki oleh Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta ini ternyata memiliki perbedaan . Alasan adanya perbedaan ini pun disampaikan pada acara yang bertemakan “Kisah Batik dari Balik Empat Istana Penerus Mataram” (15/08/2020). “Kasultanan Ngayogyakarta mewarisi kebudayaan batik dari Kerajaan Mataram, sedangkan Kasunanan Surakarta membuat jenis batik yang baru sesuai dengan ciri khas mereka,” jelas Bendara.

Menurut Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Adipati Dipokusumo dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat, setelah adanya Perjanjian Giyanti terjadi perubahan cara berpakaian terutama dalam menggunakan pakaian batik di Keraton Kasunanan. Selain itu, keberagaman motif batik ini juga menandakan perkembangan di Keraton Kasunan. “Meski begitu, Keraton Kasunanan tetap berpegang pada konsep pelestarian batik Kasunanan,” ungkapnya.

Perkembangan batik di Yogyakarta sendiri terjadi dengan sangat pesat, terutama pada era Sultan Hamengkubuwono VII. Pada era tersebut, batik tidak hanya berkembang di lingkungan keraton tetapi juga di luar keraton.  “Dahulu, kegiatan membatik hanya dilakukan oleh putri keraton atau istri pangeran sebagai salah satu bentuk pendidikan atau edukasi di dalam lingkungan keraton,”  tutur Bendara.

Namun seiring dengan perkembangan tersebut, banyak masyarakat yang salah dalam menggunakan batik. Hal ini dikarenakan batik memiliki berbagai macam motif yang mengandung filosofi atau makna tersendiri, sehingga diperlukan kehati-hatian dalam penggunaannya. “Misalnya, banyak yang dijadikan taplak meja, hordeng, bantal, dan lain-lain. Ini merupakan hal yang kurang baik dalam segi filosofi batik,” ucap Dipokusumo.

Kesalahan-kesalahan tersebut pun tidak hanya dilakukan oleh masyarakat biasa, tetapi juga arsitek atau desainer. “Hal ini terlihat pada eksterior hotel di depan Gelora Bung Karno (GBK) yang sedang dibangun, ada bentuk parang yang miring. Dengan ini terlihat bahwa arsitek berkelas pun masih melakukan kesalahan,” ungkap Bendara

Raden Ayu Nini Kartaningrat dari Mangkunegaraan III juga menambahkan bahwa pembatik-pembatik saat ini tidak seperti dahulu yang menganggap bahwa membatik seperti meditasi. “Dahulu, sebelum membatik dilakukan ritual-ritual seperti puasa karena hal ini dianggap dapat memberikan aura tersendiri pada batik,” tuturnya.

Oleh sebab itu, pihak keraton melakukan beberapa kegiatan untuk menghindari hal-hal tersebut, misalnya, Kesultanan Ngayogyakarta yang melakukan simposium untuk para akademisi, arsitek, dan desainer. Selain itu, Bendara juga menyebutkan bahwa mereka pun menggunakan berbagai platform guna menjangkau para kaum milenial.

Lain halnya dengan Kesultanan Ngayogyakarta, Gusti Pangeran Haryo Paundrakarna Jiwo Suryo Negoro dari Puro Mangkunegaraan Surakarta menyebutkan jika Puro Mangkunegaraan Surakarta melakukan penggalangan dana serta peragaan busana. “Busana ini menyangkut busana yang boleh dipakai dan tidak boleh dipakai di luar keraton, seperti larangan pemakaian motif parang saat upacara adat malam satu suro,” ucapnya. Sedangkan di Kasunanan Surakarta, Dipokusumo menyampaikan bahwa, terdapat kegiatan upacara keraton yang memakai pakaian tertentu dan dapat disaksikan oleh masyarakat.

 

Astri Oktaviani

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *