lpmindustria.com – Dalam industri mode pakaian dikenal slow fashion dan fast fashion. Fast fashion sendiri lebih berfokus kepada kecepatan produksi dan harga yang murah sehingga seringkali menimbulkan pencemaran lingkungan pada proses produksinya.
Dilansir dari Kumparan.com, dalam industri mode, pakaian yang kita pakai sehari-hari digolongkan menjadi dua jenis, yaitu slow fashion dan fast fashion. Filosofi slow fashion, bisnis mode yang diperkenalkan Zady didasarkan dengan mengedepankan kualitas bahan baku, daya tahan produk, produksi ramah lingkungan, serta tidak memprioritaskan kecepatan produksi.
Berbeda dengan slow fashion, industri fast fashion, layaknya H&M, Zara, dan Topshop, menghasilkan tren mode yang sesuai dengan perkembangan zaman. Industri mode ini memiliki proses produksi yang singkat dan biaya produksi yang rendah. Oleh sebab itu, mode pakaian yang disebut siap pakai ini tidak mengutamakan kualitas produk dan dampak produksinya terhadap lingkungan.
Disadur zerowaste.id, terdapat beberapa dampak buruk yang bisa timbul pada tahapan produksi di industri fast fashion. Penggunaan pewarna tekstil pada pakaian yang digunakan oleh industri ini akan menghasilkan limbah air yang mencemari perairan sekitarnya. Hal ini didukung oleh Rochmi Widjajanti selaku dosen program studi Teknik Kimia Polimer di Politeknik STMI Jakarta. “Hal yang membuat industri mode berpengaruh terhadap lingkungan tersebut biasanya adalah penggunaan banyak pewarna. Penggunaan pewarna tekstil yang banyak sulit terurai di lingkungan,” tutur Rochmi.
Selain itu, lepasnya microfiber pada bahan pakaian akan meningkatkan kandungan plastik di laut. “Dikarenakan bahannya berasal dari polimer sintesis, bahan yang sulit terurai, sehingga permasalahannya tidak jauh berbada dengan plastik,” ujar Rochmi.
Kemudian, material berbahan poliester yang digunakan dalam industri mode ini juga berasal dari bahan bakar fosil yang dapat berdampak terhadap pemanasan global. Selain itu produksi kapas yang membutuhkan banyak air dan pestisida dapat menyebabkan kekeringan, merusak keanekaragaman hayati, dan menurunkan kualitas tanah.
Lebih lanjut lagi, banyaknya pakaian yang dibuang akibat tidak terjual atau sudah tidak layak pakai bisa menyebabkan penumpukan sampah di lingkungan. Industri mode ini juga dapat berdampak pada menurunnya kualitas ekosistem makhluk hidup. Di perairan, hal ini akan mengganggu ekosistem hewan laut. Di tanah akan mengganggu nutrisi tanah dimana tumbuhan hidup mendapatkan air dari dalam tanah.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan diatas, terdapat beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk menanggulangi hal tersebut. Tertulis dalam medium.com, upaya-upaya tersebut antara lain membeli pakaian bekas, mencari merek pakaian yang diproduksi secara etis, menyumbangkan pakaian bekas, mengikuti acara tukar pakaian, dan melakukan trift shopping (baca: penjualan baju-baju bekas yang masih layak). Selain itu dapat juga dilakukan metode “30 Wear Test”, yaitu menimbang-nimbang sebelum membeli pakaian. Jika baju tersebut akan dipakai sebanyak tiga puluh kali sebelum membuangnya atau lebih, maka aman untuk membelinya.
Untuk perusahaan pakaian fast fashion sendiri, penggunaan bahan yang ramah lingkungan juga dapat menjadi solusi. “Setidaknya, industri tersebut mengurai penggunaan bahan sintesis dan menggunakan bahan serta pewarna dari alam,” tutup Rochmi.
Eriska Oktaviani