lpmindustria.com – Data dari AJI Indonesia memperlihatkan banyaknya kekerasan pers satu tahun silam, terhitung sejak 3 Mei 2020 – 3 Mei 2021 yang dialami oleh para jurnalis karena beberapa hal. Melalui data tersebut ditunjukkan beberapa bentuk dan pelaku dari tindakan kekerasan tersebut.
Berdasarkan catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia yang diluncurkan pada tanggal 3 Mei lalu, regulasi media di Indonesia memiliki beberapa poin yang membatasi kegiatan pers. Hal ini menimbulkan banyak keluhan dan ketidakadilan bagi para pelaku pers di negara ini.
Menurut catatan, akibat dari regulasi itu menyebabkan lonjakan kasus kekerasan pers dalam waktu satu tahun terakhir. Ada tiga jenis kekerasan yang menduduki peringkat paling atas, mulai dalam bentuk intimidasi dan lisan, perusakan alat atau hasil liputan, hingga kekerasan fisik. Adapun pelaku kekerasan tersbut diantaranya yaitu polisi, oknum tidak dikenal, satuan polisi pamong praja (satpol PP)/aparat pemerintah daerah, pejabat pemerintah/eksekutif, jaksa, serta pengacara.
Seperti yang disampaikan oleh Sasmito selaku Ketua Umum AJI bahwa kebebasan pers di Indonesia berada pada posisi 113 dari 180 negara berdasarkan laporan dari Reporters Without Borders (RWB). RWB sendiri adalah organisasi internasional nonpemerintah yang melakukan penelitian mengenai dan mendukung kebebasan pers. “Catatan AJI beberapa tahun terakhir ini memburuk karena kekerasan yang terus meningkat dan regulasi yang tidak bersahabat,” ungkapnya pada acara “Peluncuran Catatan Tahunan AJI atas Situasi Kebebasan Pers di Indonesia 2021”. Adapun regulasi tersebut antara lain Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Peraturan Mahkamah Agung, dan juga surat Telegram dari Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri).
Lebih lanjut, data dari Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) menyatakan bahwa ada lebih dari lima ribu kasus atau dugaan kekerasan HAM yang terjadi sepanjang tahun 2020. “Pandemi tidak mengurang aduan terkait kekerasan yang terjadi di Indonesia,” jelas Beka Ulung Hapsara selaku Komisioner Komnas HAM. Beliau juga menegaskan bawa pelaku kekerasan yang paling banyak diadukan adalah polisi. Hal ini juga sejalan dengan data AJI yang mencatat bahwa pelaku kekerasan tertinggi dipegang oleh polisi sebanyak 70 persen.
Padahal, peran pers sangatlah penting untuk negara demokrasi, seperti yang disampaikan oleh Gilang Desti Parahita selaku pengamat Jurnalisme Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada. Ia menuturkan bahwa jurnalis ini sebagai profesi yang terkesan dipandang sebelah mata. Namun menurutnya, jurnalis yang menjadi poros terbesar ketika sebuah negara itu sedang menuju demokrasi atau tidak. “Katakanlah jurnalis menjadi alat propaganda pemerintah maka harus dilindungi. Tanpa adanya jurnalis tidak ada reformasi,” ungkapnya.Hal serupa pun diutarakan oleh Ade Wahyudin selaku Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers. “Dewan pers masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Mereka juga tidak dilihat sejajar dengan penegak hukum,” ujarnya.
Menanggapi data-data tersebut, Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) Ahmad Ramadhan selaku Kepala bagian Umum Divisi Humas Polri menegaskan bahwa Telegram Polri yang disampaikan sebelumnya hanya untuk mengubah anggota Polri agar tidak bersikap arogan, bukan melarang media untuk merekam. “Sudah diluruskan dan disampaikan permohonan maaf oleh Kapolri atas ketidaknyamanan terhadap polemik yang terjadi. Niat awalnya hanya agar anggota tidak arogan dan mengikuti Standar Operasional Prosedur (SOP) yang ada,” ujarnya.
Selanjutnya, ia juga menanggapi terkait posisi Polri yang menduduki peringkat teratas pada kasus pelaku kekerasan. Ahmad berpendapat bahwa data tersebut kurang relevan jika dibandingkan dengan skala Polri di seluruh Indonesia. Hal ini dikarenakan hanya beberapa oknum saja yang melakukan kekerasan terhadap pers. Tak hanya itu, ia pun berjanji akan memperbaiki perilaku para anggota Polri di lapangan.
Penulis: Mutiah Kusuma Sari
Editor: Silvia Andini