Fenomena Middle-Income Trap Yang Terjadi di Indonesia

lpmindustria.com – Belum lama Republik Indonesia menyandang status negara berpenghasilan menengah ke atas, Bank Dunia kembalikan status menengah ke bawah pada pertengahan tahun 2020. Hal ini dikarenakan pendapatan nasional brutonya yang mengalami penurunan pada 1 Juli lalu.

Berdasarkan data dari Bank Dunia (World Bank) pada lamannya, pendapatan bruto atau Gross National Income (GNI) per kapita Republik Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan sejak terdampak krisis ekonomi sejak tahun 1990-an. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang baik, Bank Dunia menetapkan kelas Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah ke bawah atau lower middle-income country selama tiga belas tahun terakhir sampai tahun 2018.

Lalu pada tahun 2019, GNI per kapita Indonesia mengalami kenaikan menjadi USD4.050 dari tahun sebelumnya USD3.840. Maka berdasarkan kualifikasi Bank Dunia, Republik Indonesia mendapat kenaikan kelas menjadi negara berpenghasilan menengah ke atas atau upper middle-income country (GNI per kapita USD4.046 – USD12.525) pada pertengahan tahun 2020. Namun, hal tersebut tidak bertahan lama sebab Indonesia harus kembali menjadi negara berpenghasilan menengah ke bawah. Hal ini dikarenakan pada tahun 2020 GNI per kapita Indonesia hanya menghasilkan USD3.870 akibat dampak pandemi Covid-19.

Keberhentian pertumbuhan ekonomi menjadi penyebab Indonesia masuk ke dalam Middle Income Trap (MIT) yang berarti jebakan pendapatan menengah. Pada laporan yang berjudul “An East Asian Renaissance: Ideas for Economic Growth” pada tahun 2007 dijelaskan bahwa pada laporan tersebut Bank Dunia sudah memperkenalkan istilah tersebut, sehingga ini bukanlah pembahasan yang baru lagi.

Merujuk pada jurnal berjudul “Eksistensi dan Determinan Middle Income Trap di Indonesia”, MIT didefinisikan sebagai kondisi dimana negara-negara berpenghasilan menengah tidak mampu mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil untuk mencapai kelompok pendapatan yang baru sebagai negara berpenghasilan tinggi, sehingga terjebak dalam kelompok middle-income.

Mengutip dari jurnal yang sama, kondisi tersebut diperoleh dari pertumbuhan ekonomi yang tidak berarti dalam waktu yang lama. Sejak tahun 2010, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak ada kenaikan ataupun penurunan yang signifikan. Hal ini dikarenakan proses akumulasi, pembangunan sarana, serta alokasi sumber daya ekonomi yang masih jauh dari kata optimal. Dengan demikian, hal itu dapat menyebabkan pertumbuhan yang konstan bahkan menurun dan mengindikasikan bahwa Indonesia mengalami perlambatan pertumbuhan dan akhirnya terjebak dalam middle income trap.

Sektor lainnya yang memengaruhi juga adalah share (baca: pembagian) Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang fluktuatif, perkembangan pertanian, kondisi pertumbuhan industri manufaktur, kualitas jasa, dan pendidikan yang menjadi bagian penting untuk menentukan arah kebijakan perekonomian Indonesia.

Sri Mulyani, Menteri Keuangan Indonesia, di dalam webinar yang bertajuk “50 Tahun Nalar Ajar Terusan Budi: CSIS dan Transformasi Ekonomi Menuju Indonesia 2045” menjelaskan sudah mempelajari dan mengetahui penyebab suatu negara berhenti di level middle income country. Salah satu yang penting diperhatikan adalah kualitas sumber daya manusia.

“Negara yang mampu terus menginvestasikan dan terus meningkatkan kualitas SDM akan identik dengan negara yang terus meningkatkan produktivitas, serta inovasi adalah kunci untuk naik menjadi high income country,” ucapnya. Ia melanjutkan bahwa hal yang paling penting adalah tidak banyak negara yang bisa menyelesaikan tantangan SDM ini, meski mereka recognise (baca:  mengakui) SDM itu penting.

Menurut menteri yang pernah mendapat penghargaan menteri terbaik di dunia pada tahun 2018 ini, ada tiga area penting yang bisa meningkatkan kualitas SDM Indonesia, yaitu pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial. Hal tersebut dinyatakan dalam alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia (APBN). Ia menjelaskan bahwa anggaran untuk pendidikan sebesar 20 persen dari APBN, sehingga jumlah pendanaan untuk pendidikan mencapai 500 triliun sedangkan untuk kesehatan sebanyak 300 triliun.

“500 triliun itu terbagi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kemudian Kementerian Agama, kan sebagian pendidikan kita ada di bawah kementerian agama, kemudian lembaga-lembaga penelitian dan sebagian besar didelegasikan ke pemerintah daerah dalam bentuk biaya operasi sekolah dan gaji guru,” jelasnya pada webinar yang diadakan oleh CSIS Indonesia.

Penulis: Luqman Aradhana
Editor: Ela Auliyana

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *