lpmindustria.com – Menurut catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2020, kasus kekerasan seksual paling banyak terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Hal tersebut membutuhkan perhatian, kesadaran, dan penanganan yang tepat dari berbagai pihak agar dapat tercipta lingkungan kampus yang aman dan sehat.
Dalam webinar bertajuk “Urgensi Pengadaan Lembaga Perlindungan Korban Kekerasan Seksual”, Maria Indira Aryani selaku dosen UPN Veteran Jawa Timur menyebutkan bahwa bentuk kekerasan seksual yang paling umum terjadi di lingkungan perguruan tinggi ialah pelecehan secara verbal, mulai dari catcalling (baca: ejekan) hingga komentar-komentar yang berhubungan dengan bentuk tubuh, riasan, juga pakaian. Selain itu, tidak sedikit pula mahasiswa yang mendapat kekerasan seksual dalam bentuk fisik dan visual. “Saya sering mendengar dari teman-teman mahasiswa bahwa mereka mendapat pelecehan fisik, seperti dicubit, disentuh, dan difoto secara diam-diam, bahkan ada juga yang membuat konten di kelas padahal orang yang ada di dalam konten tersebut sebenarnya keberatan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Luh Made Khristiani Weda Tantri selaku direktur HopeHelps Universitas Airlangga (Unair) menambahkan seiring dengan maraknya penggunaan sosial media, kecenderungan kekerasan seksual juga beralih ke ranah online. Ia menyebutkan beberapa contoh kasusnya seperti ancaman penyebaran konten intim hingga kasus fetis Gilang bungkus jarik. “Sebenarnya, beberapa teman-teman angkatan 2015-2017 sudah familier dengan perilaku predatornya Gilang sebelum akhirnya ramai di tahun 2020. Namun sayangnya, kampus sempat mengelak bahwa memang sudah pernah ada laporan mengenai kasusnya,” ujar Weda. HopeHelps sendiri merupakan layanan cepat tanggap terhadap kekerasan seksual yang terjadi di wilayah kampus dan sekitarnya.
Indira turut menjelaskan bahwa tindakan pihak kampus yang terkesan menutup-nutupi adanya kasus kekerasan seksual karena isu tersebut masih dianggap sebagai hal yang memalukan, ditambah juga dengan kurangnya kesadaran dari pihak kampus. “Apabila masalahnya terkait pelecehan secara verbal, terkadang generasi senior itu tidak merasa bahwa itu adalah tindakan yang menghina. Padahal, itu sudah termasuk dalam pelecehan,” jelas Indira. Ia juga menambahkan bahwa masih banyak pula mahasiswa yang belum paham mengenai Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). “Banyak yang tidak sadar bahwa mereka pernah menjadi korban, lebih parahnya banyak yang menjadi pelaku namun tidak sadar akan hal yang dilakukan itu KBGO,” lanjutnya.
Di samping itu, terkait kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi, setiap kampus memiliki penanganan kasus yang beragam. Weda menjelaskan bahwa sudah ada layanan dan organisasi mahasiswa di beberapa kampus yang menangani kasus kekerasan seksual. Salah satunya seperti HopeHelps yang bergerak dengan melakukan pendampingan psikologis, hukum, dan lainnya kepada korban kekerasan seksual.
Selain itu di Universitas Indonesia telah dibentuk Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. “Walaupun tidak dapat memberikan dasar hukum, saya tetap mengapresiasi Universitas Indonesia karena saya rasa pergerakan organisasi teman-teman mahasiswa akan lebih kuat dengan adanya aturan-aturan dari kampus,” jelas Indi.
Dengan demikian, Indi turut mengharapkan adanya perlindungan dalam bentuk regulasi terkait menangani kasus kekerasan seksual dan pemberian sanksi tegas kepada pelaku. Namun, untuk menciptakan itu diperlukan dasar hukum yang jelas dari pemerintah. “Sejauh ini segala penanganan mengacu ke Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Kalau acuannya masih dalam bentuk rancangan undang-undang, kampus akan kesulitan dan lambat dalam menyediakan aturan dan regulasi dalam menangani kasus dan memberikan sanksi yang jelas kepada pelaku,” tutup Indi.
Penulis: Ramadina Halimatus Sa’adiah
Editor: Ela Auliyana