Guncangan Gempa Bumi di Sulawesi Barat Akibatkan Timbulnya Likuefaksi

lpmindustria.com – Likuefaksi timbul akibat munculnya getaran dari bawah permukaan tanah di wilayah yang mengalami gempa bumi. Fenomena ini menimbulkan berbagai dampak bagi yang merasakan hal tersebut, khususnya pada wilayah Sulawesi barat yang turut di guncang pada awal tahun kemarin.

Awal tahun silam terjadi gempa bumi yang mengguncang sejumlah wilayah di Indonesia bagian Timur. Dilansir dari situs Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahwa gempa bumi tersebut tepatnya terjadi di provinsi Sulawesi Barat pada tanggal 14 dan 15 Januari 2021. Gempa pembuka (14/1) terjadi sekitar pukul 13.35 WIB dengan kekuatan 5,9 magnitudo, sementara gempa susulan (15/1) sekitar pukul 01.28 WIB dengan kekuatan yang lebih besar yaitu 6,2 magnitudo di timur laut Majene.

Gempa tersebut diikuti dengan percepatan gempa bumi maksimal yang turut disampaikan oleh Taufiq Wira Buana selaku penyelidik bumi muda di Badan Geologi pada webinar bertajuk “Fenomena Likuefaksi & Rekomendasi GTL Pasca Gempa Sulbar”. Gempa bumi kedua terbilang lebih besar kekuatannya dibanding dengan yang pertama yaitu berkecepatan maksimal di atas permukaan sebesar 150,77 gal atau 0,51 g tercatat di daerah Mamuju dengan jarak 48 kilometer (km) dari pusat gempa. “Sementara untuk di daerah Majene lebih kecil, hanya berkisar di angka 39,52 gal dengan jarak sekitar 70 km dari pusat gempa,” tutur Taufiq.

Dari hasil penelitian tanggap darurat bersama dengan tim, Taufiq menyampaikan bahwa saat gempa bumi itu terjadi ditemukan beberapa likuefaksi. “Banyak likuefaksi yang ditemukan tersebar hingga ke kota Mamuju,” ungkapnya. Dalam kanal Youtube Institut Teknologi Bandung, ahli Geologi ITB yaitu Imam Achmad Sadisun menyampaikan penjelasan terkait fenomena likuefaksi atau tanah bergerak. Menurutnya, fenomena ini merupakan perubahan sifat material padat atau material sedimen menjadi air atau liquid. Tanah sedimen yang umumnya belum terkonsolidasi dengan kuat dan lepas berada di bawah permukaan air tanah setempat, berarti tanah sedimen tersebut jenuh. “Tanah sedimen tersebut terkena hentakan secara tiba-tiba akibat gempa bumi,” kata Imam.

Dengan demikian, air yang berada diantara sedimen tersebut atau yang kerap disebut tekanan air pori berubah seketika dan sering kali kekuatan tanah terlampaui oleh kenaikan tekanan air pori. “Sehingga ketika berada disuatu kemiringan, material tersebut akan bergerak merayap dan mengalir,” ungkap Imam. Hal ini turut terjadi ketika gempa bumi tersebut, namun jenis likuefasi yang terjadi tidak terindikasi sama dengan yang di daerah Palu pada 3 tahun silam. “Hasil penelitian di lapangan menyatakan bahwa likuefaksi yang terjadi pada provinsi Sulawesi Barat umumnya hampir sama dengan kejadian di beberapa kota Indonesia, seperti Yogyakarta, Padang, Bidijaya, Lombok, dan lain-lainnya,” kata Taufiq.

Terdapat beberapa jenis likuefaksi yang berintensitas umum terjadi hingga jarang terjadi, turut disampaikan oleh Taufiq pada webinar tersebut. “Ada tiga diantaranya semburan pasir (sandboil), penurunan tanah (vertical displacement), dan pergeseran lateral (lateral spreading),” sebutnya. Jenis semburan pasir pun memiliki dua tipe, yaitu semburan pasir yang muncul pada permukaan tanah dan semburan pasir tidak muncul di permukaan tanah.

Tipe semburan pasir yang muncul pada permukaan tanah terjadi di beberapa wilayah Sulawesi Barat. “Mulai dari daerah selatan yaitu wilayah Onang, Malunda, Tapalang, dan beberapa kota di Mamuju menyembur hingga permukaan,” ucap Taufiq.  Ia menyebutkan bahwa semburan ini akan keluar melalui dua media, diantaranya media retakan dan titik-titik lemah lainnya. “Retakan akan muncul pada permukaan saat gempa terjadi serta titik lemah berupa sumur galian dangkal (akuifer bebas) maupun litologi (baca: ilmu tentang struktur batuan) yang bersifat lemah,” ujar Taufiq. 

Tipe ini akan mengakibatkan penurunan permukaan tanah yang bersifat lokal jika terjadi dalam skala yang besar. Oleh karena itu, wilayah tersebut bermunculan lubang-lubang retakan hingga patah pondasi bangunan. “Misalnya di Taan hanya timbul retakan karena guncangan yang masih terbilang kecil, sementara di Onang dan Orobatu mengalami patah pondasi dalam rumah,” jelas Taufiq. Selanjutnya, tipe semburan pasir tidak keluar permukaan turut disebutkanya dialami di daerah Mekkata dan Tapalang. “Kerusakannya lebih ringan yaitu pipa menjadi melengkung untuk daerah Tapalang dan air sumur yang hilang berisi pasir di daerah Mekkata,” tuturnya.

Kedua, terdapat jenis penurunan tanah (vertical displacement) juga turut dialami mulai dari daerah Mekkata, Kasambang, Tapalang, Malunda, Taan, Dungkait sampai Pasabu. Tipe tersebut menurutnya berdampak kerusakan yang sedang pada pondasi, mengalami penurunan tanah mulai dari 3-50 centimeter (cm). “Tiang listrik pun turun sebesar 30 cm karena saat material pasir keluar dari bawah permukaan terdapat beban berat konstruksinya,” kata Taufiq.

Ketiga, jenis pergeseran lateral (lateral spreading) merupakan longsor pada daerah landai yang berintensitas jarang terjadi. Kerusakan pada bangunan akan lebih parah, karena lapisan tanah berpisah serta menggeser permukaan tanah. “Turut terjadi di daerah Tapalang yang mengalami pergeseran tanah hingga 20 cm dan penurunan pondasi tanah hingga 50 cm,” ungkap penyelidik bumi muda Badan Geologi tersebut.

Berdasarkan situs Universitas Islam Indonesia, ketiga jenis likuefaksi tanah dapat dicegah dengan mengacu pada Standar Nasional Indonesia yang turut disampaikan oleh Paulus Pramono Rahardjo selaku guru besar Rekayasa Geoteknik di Universitas Katolik Parahyangan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengidentifikasi area yang berpotensi terkena likuefaksi berdasarkan pengukuran para ahli. “Tidak menggunakan pondasi dangkal kecuali setelah perbaikan tanah, mengabaikan gesekan lapisan likuefaksi pada pondasi yang dalam, tidak menggunakan tiang pancang yang rusak dan beton pratekan,” ungkap Rahardjo. Terakhir, ia menyampaikan bahwa upaya lainnya yaitu dengan melakukan perbaikan dengan densifikasi (pemadatan) pada tanah yang berpasir dan menggunakan tumpukan baja atas dasar pertimbangan kekuatan sistem pondasi.

Penulis: HannyKurnia Putri
Editor: Ela Auliyana

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *