Pelecehan Seksual di Ruang Publik

lpmindustria.com – Ruang publik merupakan ruang bersama yang dapat diakses oleh semua orang. Hak akses tersebut menjadikan ruang publik sebagai tempat dengan kasus pelecehan seksual paling banyak.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ruang publik adalah ruang sosial yang umumnya terbuka dan dapat diakses oleh siapa saja, misalnya jalan (termasuk trotoar), alun-alun, taman, pantai, dan lainnya. “Ruang publik adalah ruang bersama, sehingga dapat membentuk keramaian,” jelas Exa Exensia selaku Urban Designer. Exa mengatakan bahwa ruang publik yang aman memiliki dua prinsip, yaitu mempermudah navigasi dan merasa terawasi. “Bisa bernavigasi maksudnya kita paham dari titik awal sampai akhir akan bergerak kemana. Serta, merasa terawasi yaitu saat melakukan aktivitas fisik dapat terekspos,” ujarnya.

Exa melanjutkan, ruang publik dapat menciptakan keramaian yang homogen dan heterogen. Keramaian ini dapat membuat penggunanya merasa terintimidasi. Dilansir dari laman bbc.com di tahun 2018, survei yang dilakukan Hollaback! Jakarta, perEMPUan, Lentera Sintas Indonesia, Jakarta Feminist Discussion Group (JFDG), dan Change.org Indonesia menunjukkan jalanan umum dan transportasi umum menjadi dua tempat teratas dengan jumlah kasus pelecehan seksual terbanyak. Dari 46.349 responden tercatat 33 persen pelecehan seksual terjadi di jalanan umum dan 19 persen terjadi di transportasi umum.

Bentuk pelecehan yang dialami para responden ini pun beragam. Dikutip dari katadata.co.id, bentuk pelecehan yang paling umum dilakukan adalah siulan, yaitu sebesar 17 persen. Bentuk pelecehan lainnya yang dilakukan adalah komentar tubuh sebanyak 12 persen, disentuh sebanyak 10 persen, main mata sebanyak 9 persen, dan komentar seksis sebanyak 7 persen.

Dilansir dari kompas.com, Safety Audit UN Women menemukan beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pelecehan di ruang publik. Pertama, sarana dan prasarana di ruang publik yang belum memadai. Selanjutnya, masyarakat cenderung menganggap kekerasan sebagai hal yang lazim. Lalu, pengalaman kekerasan yang didapatkan oleh korban serta tindakan masyarakat yang sering kali menyalahkan korban juga menjadi penyebab terjadinya pelecehan seksual.

Raisa dari komunitas Hollaback! Jakarta menjelaskan bahwa orang yang menyaksikan pelecehan seksual di ruang publik dapat melakukan intervensi dengan cara Direct, Distract, Delegate, Delay, and Document (5D). Direct berarti mengintervensi langsung. Misalnya saat melihat catcalling. Jika tidak bisa melakukan intervensi langsung, kita dapat mendistraksi pelaku dengan menanyakan jam kepada korban.

Selanjutnya, dapat melakukan Delegate, Delay, and Document. “Jika kita tidak bisa melakukan intervensi, kita dapat mendelegasikannya kepada pihak yang berwenang, seperti satpam, petugas kereta api, atau petugas di halte Transjakarta. Lalu, kita juga dapat melakukan delay jika korban merasa terguncang. Contohnya dengan menenangkan korban yang menangis terlebih dahulu. Terakhir, kita dapat melakukan dokumentasi dengan mengambil foto dan melaporkannya kepada pihak yang berwajib,” ungkap Raisa.

Artha Julia

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *