Budaya Pemerkosaan: Akar dari Kasus Pelecehan dan Kekerasan Seksual

lpmindustria.com – Kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual terus meningkat setiap tahunnya. Beriringan dengan kenaikan kasus, gagasan tentang ‘Rape Culture’ juga telah menerima lebih banyak perhatian karna menjadi faktor utama keadilan untuk korban kekerasan seksual sering kali terabaikan.

Dilansir dari laman vox.com budaya pemerkosaan atau lebih dikenal dengan istilah rape culture adalah kondisi lingkungan atau masyarakat yang menormalisasi dan melazimkan kekerasan seksual. Kondisi tersebut pada saat masyarakat sudah berada dipihak pelaku kekerasan seksual dan justru mencari celah untuk menyalahkan korban, itu membuktikan bahwa budaya pemerkosaan sudah mengakar di lingkungan tersebut. Dikutip dari laman rapecrisis.org.uk, budaya pemerkosaan tumbuh karena masyarakat memegang kontrol sebagai patriarki yang memandang perempuan sebagai objek untuk menghibur dan melayani belaka, bukan sebagai manusia yang setara.

Contoh dari eksistensi budaya pemerkosaan sangat mudah ditemui, dilihat dari umumnya seperti catcalling, lelucon seksis, hingga kasus-kasus pelecehan seksual. Dilansir dari icjr.org.id, diketahui pada tanggal 1 juli 2019, Kasat Reskrim Polresta Pontianak menyelesaikan kasus kekerasan seksual terhadap santriwati berusia 16 tahun dengan pendekatan restorative justice, yaitu dengan menikahkan korban dengan pelaku. Padahal perkawinan anak jelas bukan solusi untuk mengupayakan pemulihan korban dan justru menempatkan korban lebih dekat lagi dengan ancaman serta kondisi yang traumatis. Mirisnya, praktik sejenis itu bukan hal asing lagi yang terjadi di Indonesia dan membuktikan bahwa pelaku kekerasan seksual bisa dengan mudahnya lolos dari jerat hukum pidana, sementara korban kembali disalahkan atas ketidakmampuannya ‘menjaga diri’.

Dikutip dari laman rpe.co.nz dalam budaya pemerkosaan, perempuan diberikan tanggung jawab penuh untuk menghindari diri dari serangan seksual dan harus selalu mengawasi perilaku mereka.  Seperti tuntutan untuk memakai pakaian tertutup atau tidak boleh pergi sendirian dimalam hari. Perempuan akan selalu dipaksa menyesuaikan diri dengan standar para patriarki, agar tidak dianggap ‘mengundang’ atau ‘memancing’ predator, sehingga membatasi peluang dan kehidupan mereka.

Berdasarkan sumber dari unwomen.org rape culture juga memaksakan gagasan bahwa laki-laki tidak bisa menjadi korban kekerasan seksual, sehingga para korban cenderung tidak melapor karena takut tidak dipercaya. Hal ini dapat memperlambat proses pemulihan korban dan pelaku terbebas dari tanggung jawab atas kejahatannya.

Cara terbaik untuk menghentikan pertumbuhan dari akar budaya pemerkosaan ini adalah dengan edukasi. Baik dengan mengedukasi diri untuk belajar peduli dan kritis terhadap isu-isu kekerasan seksual, belajar menghargai privasi orang lain, dan belajar memahami pentingnya consent (baca : persetujuan) dalam segala keterlibatan diri dengan situasi atau aktivitas bersama individu lain. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan mengedukasi orang-orang disekitar untuk menghentikan komentar dan lelucon seksis.

Penulis : Ramadina Halimatus Sa’adiah

Editor : Az-zahra Nurwanda

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *