lpmindustria.com,- Pawang Hujan adalah orang yang pandai menolak hujan, dalam melakukan tugasnya pawang hujan membutuhkan objek ritual dan kepercayaan masyarakat sekitarnya.
Pawang hujan ramai diperbincangkan semenjak gelaran MotoGP Mandalika menggunakan jasanya untuk mengendalikan curah hujan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pawang Hujan adalah orang yang pandai menolak hujan.
Dilansir dari jurnal Sabda Vol.12 No.1 mengenai Objek-Objek Dalam Ritual Penangkal Hujan, dikatakan bahwa ritual panggil dan tolak hujan ini dikenal sampai ke mancanegara. Media mencatat ritual tolak hujan terjadi pada pembukaan Olimpiade Beijing tahun 2008. Begitu juga dengan ritual panggil hujan terjadi di Bihar India yaitu para petani bertelanjang dada untuk memanggil hujan. Begitupun dengan negara Jepang yang sampai saat ini masih menjaga kepercayaannya.
Tidak terdapat catatan pasti dimulai sejak kapan ritual pawang hujan ini. Menurut jurnal Objek–Objek dalam Ritual Penangkalan Hujan, di Indonesia ritual pawang hujan dianggap sebagai keanekaragaman budaya yang diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang. Maka dari itu, biasanya yang disebut dengan pawang hujan adalah sesepuh karena mereka dianggap sebagai orang yang bisa berhubungan dengan alam dunia lain, menjadi orang yang sangat dihormati dan selalu dimintai pendapatnya ketika masyarakat membutuhkan bantuan atas segala permasalahan.
Ritual pawang hujan ini membutuhkan benda atau objek ritual yang harus disiapkan. Jika benda atau objek tersebut tidak lengkap, masyarakat percaya bahwa ritual tersebut tidak akan berhasil. Hal ini dilakukan agar makhluk-makhluk halus di atas kekuatan manusia tidak mengganggu. Dengan pemberian makan secara simbolik kepada roh halus, diharapkan roh tersebut akan jinak, dan mau membantu hidup manusia dengan membantu permintaan manusia untuk memanggil atau menolak hujan.
Ritual penangkal hujan membutuhkan sesaji. Sesaji yang paling penting adalah tumpeng. Tumpeng ini disebut tumpeng robyong yang mengandung simbol budaya. Namun berbeda daerah berbeda pula tata cara maupun objek ritualnya. Menurut Penelitian Makna Simbolik Ritual Pawang Hujan pada Masyarakat Karo, keberadaan ritual di seluruh daerah merupakan wujud simbol dalam agama atau religi dan juga simbolisme kebudayaan manusia. Tindakan simbolis dalam upacara religius merupakan suatu bagian yang sangat penting dan tidak mungkin dapat ditinggalkan begitu saja.
Berdasarkan Jurnal Penelitian Budaya, Vol.5 No.1, Pawang hujan adalah sebutan umum untuk orang yang dapat memanggil dan menolak hujan, namun setiap daerah ataupun suku memiliki istilah khusus untuk pawang hujan, seperti pada Etnik Muna yang memiliki salah satu tradisi yaitu ritual kadiano ghuse. Dimana kadiano ghuse ini memiliki arti memindahkan atau mengalihkan hujan.
Menurut jurnal Objek–Objek dalam Ritual Penangkalan Hujan, Ritual dipercaya bisa menjadi alat untuk menguatkan maksud menunda turunnya hujan. Seperti melakukan ritual dengan puasa mutih, yaitu berpuasa dengan hanya makan nasi tanpa garam dan minum air putih selama tiga hari. Selain puasa mutih, sebelum hajatan diadakan pawang hujan akan datang ke tempat itu untuk memasang sepasang janur yang diikat pada tiang yang menjadi pusat acara.
Berdasakan hasil penelitian Ritus Kadiano Ghuse pada Suku Muna di Kecamaatan Napabalano Kabupaten Muna, dalam proses ritus “Kadiano Ghuse” atau memindahkan hujan ini, benda-benda yang mereka gunakan berbeda-beda, ada yang pakai kayu bakar, detawuni ifii, tamaka dodhaganie oifia penaembali naopeoa (membakar api namun apinya dijaga tidak boleh padam) tetapi ada juga yang pakai rokok secara terus menerus sampai hajatan selesai, ada yang pakai jahe, ada juga yang pakai cermin dalam melakukan proses ritus ini.
Adapun cara-cara tiap pawang hujan ini kebanyakan berbeda-beda tergantung keahliannya masing-masing. Bahan-bahan yang digunakan pun memiliki makna tersendiri diantaranya, tabhako (rokok) dan saha (cabai) memiliki makna untuk mengarahkan hujan ke tempat lain dan menjadikan hujan menghindar dari tempat hajatan masyarakat, paeasa (cermin), ghohia (garam) dan winto (batu asa) memiliki makna menyinari langit agar cerah dan tidak turun hujan, dan terakhir roo finde (daun pisang kering) dan kalumembe (tumbuhan yang dijadikan sapu tradisional) memiliki makna untuk mengeringkan awan dan untuk menyapu bersih awan di langit. Dibalik semua kegiatan ritual dan objek ritual yang memiliki makna tersebut adanya kepercayaan juga akan menentukan keberhasilan dari ritual pawang hujan ini.
Penulis : Rahma Dhini
Editor : Az-Zahra Nurwanda