lpmindustria – Tingginya angka perkawinan anak di Indonesia menjadi isu penting yang sering tertutupi. Perkawinan anak sendiri sering kali identik sebagai bentuk diskriminasi untuk anak perempuan
Perkawinan anak adalah kebiasaan menikahkan anak-anak di bawah umur dengan orang yang lebih tua atau pun dengan anak di bawah umur. Perbuatan ini sudah menjadi hal umum yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Banyak faktor yang memengaruhi terjadinya perkawinan anak, salah satunya faktor kemiskinan. “Perkawinan anak umumnya terjadi karena faktor kemiskinan. Banyak orang yang tinggal dalam kondisi miskin melakukan perkawinan anak dengan tujuan untuk menjadikan anak sebagai aset keluarga agar kehidupan mereka terhindar dari kemiskinan,” ujar Ryan Richard dari Youth Coalition for Girls.
Perkawinan bukan hanya sekadar menyatukan dua orang ke dalam ikatan perkawinan. Ada hal yang lebih penting daripada hal tersebut, yaitu kedua pasangan harus memiliki kematangan agar dapat menjalankan rumah tangga dengan baik. “Matang cara berpikirnya, matang fisiknya, matang ekonominya, matang psikisnya, dan matang dalam manajemen konflik,” jelas Iklilah Muzayyanah dari Fatayat NU.
Perkawinan anak pun sering dikaitkan dengan aturan agama. Di Indonesia banyak ditemukan praktik-praktik perkawinan anak yang alasannya didasarkan pada agama. Mereka melegalkan perkawinan anak berdasarkan nilai agama. “Sejauh ini, persoalan tentang perkawinan anak dianggap memiliki dasar legitimasi dari agama,” jelas Iklilah.
Peraturan yang tak pasti mengenai batas usia seorang anak diperbolehkan menikah menjadi faktor lain dari terjadinya perkawinan anak. Tidak adanya keseragaman usia dalam hukum pemerintah membuat penentu anak dikatakan dewasa menjadi samar. “Harusnya ada harmonisasi kebijakan mengenai usia,” jelas Lia Anggiasih dari Koalisi Perempuan Indonesia.
Kini, berkat perjuangan beberapa orang yang telah memperjuangkan angka usia perkawinan anak, usia perkawinan meningkat menjadi 19 tahun untuk kedua calon mempelai. Awalnya, batas usia perkawinan berada diangka 18 tahun untuk calon mempelai wanita dan 19 tahun untuk calon mempelai laki-laki. “Kami meminta usianya jadi sama antara laki-laki dan perempuan, yaitu di usia 19 tahun. Tidak lagi di 18 tahun untuk perempuan, kemudian laki-lakinya 19 tahun,” jelas Lia.
Menurut Ryan, perkawinan anak yang diidentikkan dengan anak perempuan merupakan bentuk diskriminasi terhadap anak perempuan. “Perkawinan anak diidentikkan dengan anak perempuan. Inilah yang menjadi bentuk dari diskriminasi,” ujar Ryan. Ryan juga menegaskan bahwa perkawinan anak adalah bentuk pencurian terselubung terhadap mimpi anak.
Dalam hal ini, kontribusi anak muda sangat penting dalam menumpas isu-isu seperti ini. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah menyebarkan informasi tentang perkawinan anak melalui media sosial. “Bentuk kontribusi yang dapat dilakukan anak muda adalah dengan cara komunikasi, manfaatkan media sosial untuk berkomunikasi,” tutur Ryan.
Lailla Nur Viliansah