lpmindustria.com – BEM SI kembali menyerukan aksi nasional untuk menolak pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja pada Selasa (20/10) lalu. Untuk aksi kali ini, BEM Politeknik memutuskan tidak ikut turun ke jalan karena beberapa alasan.
Beberapa hari lalu, aksi unjuk rasa penolakan pengesahan UU Cipta Kerja kembali dilakukan oleh masyarakat. Namun pada unjuk rasa kali ini, BEM Politeknik STMI Jakarta memutuskan untuk tidak turut melakukan aksi tersebut. “Untuk tanggal 20 Oktober secara spesifik, BEM Politeknik STMI Jakarta tidak turun melakukan demonstrasi,” ujar Yudhi Anggara selaku Presiden Mahasiswa Politeknik STMI Jakarta.
Yudhi menjelaskan bahwa keputusan tersebut diambil berdasarkan himbauan dan BEM se Jabodetabek-Banten (BSJB) dan hasil evaluasi aksi unjuk rasa sebelumnya (8/10) yang dinilai membahayakan mahasiswa. “Saat itu, situasi dan kondisi di lapangan lumayan rusuh. Sehingga, kita menilai bahwa hal tersebut dapat membahayakan mahasiswa kita,” ujarnya.
Yudhi pun menuturkan bahwa risiko penularan Covid-19 lebih tinggi terjadi saat melakukan aksi unjuk rasa. “Ada beberapa risiko yang sedang terjadi yaitu banyaknya penularan Covid-19. Jadi kita meminimalkan terjadinya penularan terhadap mahasiswa kita sendiri akibat turun ke demo itu,” ucap Yudhi.
Meskipun tidak ikut serta dalam aksi unjuk rasa, Yudhi mengucapkan bahwa BEM Politeknik STMI Jakarta tetap melakukan aksi melalui media sosial. “Kita memberikan pencerdasan kepada para mahasiswa khususnya internal kampus kita, bahwa UU ini memiliki beberapa pasal kontroversial yang sedang dibahas dimana-mana. Kita juga memberitahu bahwa BEM Politeknik STMI Jakarta tetap menolak UU tersebut,” ucapnya.
Selanjutnya, Yudhi menuturkan bahwa ada beberapa mahasiswa Politeknik STMI Jakarta yang mengikuti aksi tersebut atas nama pribadi. “Mungkin jumlahnya sekitar lima belas orang, tetapi saya tidak bisa memastikan karena kurang valid. Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa mereka membawa massa sekitar tiga belas orang, namun mungkin ada beberapa juga yang tidak konfirmasi,” katanya.
Menanggapi mahasiswa yang ikut turun dalam aksi unjuk rasa, Yudhi mendukung hal tersebut. Walau banyaknya risiko untuk ikut aksi, menurutnya hal tersebut merupakan hak setiap universitas dan organisasi. “Saya atas nama BEM dan Presma Politeknik STMI Jakarta mendukung teman-teman yang masih bisa ikut turun ke jalan dengan banyaknya risiko tersebut,” ucapnya.
Terkait keputusan BEM Politeknik STMI untuk tidak mengikuti aksi demo, Muhammad Fadilah Ardhan, mahasiswa SIIO angkatan 2018 berpendapat bahwa keputusan yang diambil BEM sudah benar. Menurutnya hal ini dikarenakan Politeknik STMI Jakarta merupakan lembaga pendidikan tinggi yang berada di bawah naungan Kemenperin. Lalu, ia pun menyetujui bahwa kondisi pandemi saat ini turut menjadi kekhawatiran terjadinya penularan.
Kendati demikian, salah satu mahasiswa angkatan 2017 yang tidak ingin namanya disebutkan mengungkapkan kekecewaannya. “Saya pribadi cukup menyayangkan karena BEM Politeknik STMI Jakarta bungkam seperti itu. Seharusnya mereka sebagai sumber aspirasi mahasiswa, tugas pokoknya adalah menyampaikan, menyalurkan, atau menjadi perwakilan dari mahasiswa,” tuturnya. Ia juga menuturkan bahwa aksi media sosial yang dilakukan oleh BEM Politeknik STMI Jakarta untuk melakukan sosialisasi terkait UU Cipta Kerja pun kurang. “Pada tanggal 16 dan 20 Oktober lalu, BEM Politeknik STMI Jakarta pun tidak melakukan unggahan apapun tentang aksi yang sedang terjadi,” jelasnya.
Hal serupa disampaikan oleh Haekal Rentua, mahasiswa SIIO angkatan 2017. Ia pun sangat menyayangkan keputusan dari BEM Politeknik STMI Jakarta. Haekal menuturkan bahwa aksi unjuk rasa hanya memiliki dua kemungkinan, yaitu berlangsung ricuh atau damai. Menurutnya, hal tersebut dapat diantisipasi dengan persiapan yang matang, seperti menentukan bagian keamanan dan evakuasi serta mengatur strategi jika terjadi kerusuhan. Perihal risiko penularan Covid-19, ia mengucapkan bahwa risiko tersebut tidak hanya ada saat aksi demonstrasi saja.
Lebih lanjut lagi, Haekal berpendapat bahwa aksi melalui media sosial kurang didengar. “Aksi melalui media sosial belum cukup karena tidak membuat kita menjadi cerdas juga. Jika melakukan aksi secara langsung, kita akan mengkaji dan ada teknik lapangan serta konsolidasi. Menurut saya, itu pembelajaran juga untuk mahasiwa,” tutupnya.
Artha Julia