Tanggapan Presma Periode 2019/2020 terhadap Kekosongan BEM 2020/2021

lpmindustria.com – Kosongnya BEM periode 2020/2019 mengakibatkan munculnya stigma terhadap BEM. Yudhi Anggara selaku Presma 2019/2020 mengatakan kosongnya bem adalah kesalahan dari DPM. Ia pun mengoreksi beberapa hal yang terhadap tanggapan DPM.

Pada bulan Mei lalu, LPM Industria mewawancarai Faiz Senjaya selaku Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) periode 2019/2020 terkait kekosongan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) periode 2020/2021. Ia mengatakan bahwa hal tersebut disebabkan oleh berkurangnya antusias mahasiswa dan hilangnya Presiden Mahasiswa (Presma) periode 2019/2020 yang dianggap menimbulkan asumsi bahwa BEM sedang tidak baik. “Tentunya, minat peserta yang akan mencalonkan akan berkurang,” kata Faiz.

Baca juga: Kosongnya BEM Politeknik STMI Jakarta Periode 2020/2021 (http://lpmindustria.com//berita/1080/kosongnya-bem-politeknik-stmi-jakarta-periode-20202021)

Melihat pernyataan tersebut Yudhi Anggara atau biasa disapa Aang selaku Presma periode 2019/2020 membantah hal tersebut. Aang menyebutkan beberapa faktor kekosongan BEM periode ini, pertama yaitu cara DPM dalam mengemas Pemilihan Raya (Pemira) yang belum maksimal. “Membuat kemasan dari ajakan untuk mendaftar sebagai calon presma tidak semudah hanya bikin pamflet digital lalu diunggah ke Instagram. Terlebih, minat baca mahasiswa saat ini rendah,” ujarnya. Ia mengatakan DPM seharusnya membuat inovasi karena melihat keinginan mahasiswa yang minim dalam Pemira ini.

Menurut Aang, faktor kedua adalah kurangnya minat mahasiswa. “Di Politeknik STMI Jakarta, sejak dulu yang berminat mencalonkan diri sebagai presma kurang, hanya orang-orang tertentu saja yang berani dan memiliki empati terhadap BEM atau Keluarga Besar Mahasiswa (KBM),” sebutnya.

Kemudian, faktor lainnya yaitu adanya stigma terhadap BEM yang muncul dari mahasiswa-mahasiswa KBM. “Kalau di sini, BEM seperti menjadi lawan kontra oleh organisasi-organisasi. Berbeda halnya ketika membahas turunnya dana Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan ranah, mereka langsung datang kepada BEM,” ungkap Aang. Menurutnya, seharusnya mahasiswa memiliki kesadaran untuk mengubah BEM untuk menjadi lebih baik. “Saat ini, saya tidak melihat kesadaran tersebut dari mahasiswa,” lanjutnya.

Lebih lanjut, Aang menjelaskan bahwa sebelumnya ada inovasi dari KBM yaitu diadakannya rapor kerja BEM setiap enam bulan sekali yang dibuka secara umum melalui Zoom. Ia mengungkapkan hasilnya tidak negatif. Adapun hasil ini berdasarkan observasi melalui kuesioner yang disebarkan kepada mahasiswa, termasuk mahasiswa independen. “Sehingga kalau dilihat terdapat orang-orang tidak bertanggung jawab di KBM menggiring opini tidak baik tentang BEM yang sebenarnya di luar fakta,” ungkapnya.

Dilansir dari artikel yang diterbitkan oleh LPM Industria, Faiz beranggapan bahwa para peserta khawatir melihat cukup banyaknya permasalahan yang harus dikerjakan dan diselesaikan. “Seperti halnya, permasalahan terkait gedung sekretariat, dana DIPA, serta nasib Organisasi Mahasiswa (Ormawa) ke depannya,” sebutnya.

Lebih lanjut, ia turut menegaskan bahwa dengan melihat kejadian yang belakangan ini terjadi, BEM tampak gagal menjadi inisiator mahasiswa. “Padahal, BEM sebagai eksekutif yang memandu menyelesaikan masalah, tetapi justru mahasiswa saat ini harus melihat tidak adanya inisiatif BEM untuk menyelesaikan masalah,” ucapnya

Menanggapi pernyataan tersebut, Aang menjelaskan bahwasanya tolok ukur ada atau tidaknya calon presma baru tidak bisa diukur dari sukses atau tidaknya BEM sebelumnya karena setiap periode itu pasti meninggalkan Pekerjaan Rumah (PR) untuk periode selanjutnya. Ia juga menekankan bahwa dana DIPA adalah urusan DPM. Kalaupun ada campur tangan BEM, bukan sebagai inisiator tapi sebagai pengawas. “Tidak turunnya dana DIPA sampai sekarang seharusnya kesalahan DPM,” tegasnya.

Terkait masalah relokasi gedung sekretariat, Aang mengatakan bahwa ia telah turun tangan menangani masalah ini bersama dengan mahasiswa KBM lainnya, mulai dari mengatur strateginya sampai dengan melakukan negosiasi dengan Direktur Politeknik STMI Jakarta untuk mendapatkan solusi terbaik. “Kami sudah sampai membuat beberapa pertimbangan dan mengumpulkan aspirasi-aspirasi mahasiswa, namun pihak kampus tidak ingin mendengar aspirasi kita,” terangnya.

Bahkan, Aang mengungkapkan dirinya sudah sampai membuat pertemuan dengan pihak Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Industri (BPSDMI) untuk membantu masalah relokasi gedung sekretariat ini. “Saya meminta pertolongan kepada BPSDMI untuk menangani masalah ini, namun mereka mengatakan bahwa itu sepenuhnya adalah hak dari Direktur Politeknik STMI Jakarta,” tuturnya.

Terkait dengan masalah Ormawa ke depannya, Aang mengatakan bahwa itu sepenuhnya tanggung jawab DPM sebagai lembaga tertinggi. Namun apabila BEM saat ini sudah ada penggantinya, itu adalah tanggung jawab mereka. Dengan demikian, ia mengatakan bahwa kekosongan BEM merupakan tanggung jawab DPM. “Mereka seharusnya tidak boleh lepas tanggung jawab begitu saja karena tugas dan fungsi BEM saat ini diambil oleh DPM,” jelasnya.

Masih dalam sumber yang sama, Faiz mengaku bahwa pihaknya telah mengupayakan semaksimal mungkin. Di antaranya yaitu melakukan follow up kepada BEM periode 2019/2020. “Saat menghubungi Yudhi Anggara selaku Presma periode 2019/2020 memang agak sulit, namun alhamdulillahnya Aziz selaku Wapresma periode tersebut cukup komunikatif,” jelas Faiz. Lanjut, ia berkata bahwa ternyata hal ini turut dirasakan oleh Aziz. “Bahkan, Wapresmanya bilang kalau Presmanya tidak bisa dihubungi,” ucapnya.

Menanggapi hal tersebut, Aang mengatakan bahwa ucapan Faiz di artikel tersebut adalah opini yang tidak bertanggung jawab. “Saya selalu hadir dalam semua agenda-agenda DPM, agenda-agenda KBM, bahkan sampai diskusi yang dilakukan secara offline pun saya hadir. Sulit dihubunginya itu seperti apa bahkan sampai dikatakan hilang,” tegas Aang.

Menurut Aang, adanya kabar bahwa ia hilang atau sulit dihubungi karena mahasiswa Politeknik STMI Jakarta menyangka dirinya masih menjabat sebagai Presiden mahasiswa. “Saya sudah lengser dari tanggal 20 Februari 2021 saat Sidang Umum dan salahnya DPM tidak membuat pers rilisnya di akun Instagram,” terangnya.

Ia juga mengatakan bahwa orang-orang yang membuat opini bahwa BEM tidak bertanggung jawab adalah orang-orang yang tidak mengetahui kondisinya seperti apa dan tidak ikut turun langsung untuk mengatasi permasalahan yang ada. “Contohnya adalah Faiz. Saat saya menangani masalah relokasi gedung sekretariat, diskusi-diskusi dengan KBM, penyusunan-penyusunan strategi, bahkan sampai gedung sekretariat itu digusur pun, beliau tidak ada. DPM tidak tahu ada dimana saat itu,” ucap Aang.

Kemudian Aang juga menegaskan bahwa kinerja tidak dapat diukur dari banyaknya demo atau program event yang dilakukan. “Hal yang terpenting adalah sejauh mana BEM menindaklanjuti aspirasi mahasiswa saat awal pandemi kemarin dan melakukan kontrol sosial terhadap manajemen kampus terkait kebijakan yang dibuat,” ujarnya.

Aang menjelaskan BEM mengubah program kerjanya ketika awal pandemi kemarin sesuai dengan kondisi saat itu. Program kerja tersebut diubah menjadi lebih fokus terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh kampus. Dalam program-program yang dibuat tersebut, ada beberapa poin yang didengar oleh pihak kampus yaitu diberikannya bantuan kuota kepada mahasiswa, dimundurkannya kalender akademik yang saat itu berdampak pada mahasiswa yang akan menyusun tugas akhir, diperpanjangnya batas waktu pembayaran Biaya Penyelenggaraan Pendidikan (BPP), dan dibuatnya sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang lebih fleksibel. “Saat itu, kami juga meminta bantuan kepada pihak BPSDMI untuk menangani masalah-masalah yang ada saat itu dan memonitor kampus untuk melihat apakah aspirasi-aspirasi mahasiswa yang masuk ditindaklanjuti oleh STMI,” jelasnya.

Menurutnya, dalam mengatasi masalah ini diperlukannya kerja sama dari berbagai pihak. “BEM tidak bisa mengurus masalah-masalah yang ada di kampus itu sendirian. Semua itu harus ada kerja sama serta kesadaran dari berbagai pihak baik DPM ataupun KBM, tidak bisa hanya mengandalkan atau menjadikan BEM sebagai tameng,” tutupnya.

Penulis: Ela Auliyana
Editor: Artha Julia

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *