lpmindustria.com – Pesatnya perkembangan internet memudahkan masyarakat dalam mengonsumsi hiburan di media sosial. Akan tetapi, hal ini justru menjadi tantangan bagi industri televisi untuk tetap bisa mempertahankan eksistensi bersamaan dengan ketatnya regulasi yang ada.
Mohammad Arief selaku Direktur Berita dan Pemimpin Redaksi Metro TV mengatakan bahwa saat ini industri televisi sedang mendapat cobaan besar di tengah tantangan zaman. Industri televisi sedang dikepung dengan berbagai regulasi seperti Undang-Undang (UU) Penyiaran, UU Pokok Pers, dan beragam kode etik. Sementara di sisi lain, ada sebuah industri pada media sosial yang bebas beroperasi tanpa dikepung regulasi yang ketat seperti halnya industri televisi. Hal tersebut membuat industri televisi sebagai media arus utama (mainstream) menjadi tidak mudah dalam menjalani persaingan pasar. “Kita tidak bisa lagi beroperasi menggunakan cara yang biasa, harus dengan cara-cara yang lebih efisien dan melakukan beragam inovasi untuk bisa tetap relevan dalam mempertahankan eksistensi juga memberikan layanan bagi pemirsa,” jelasnya dalam webinar berjudul “Mengulik Lebih Dalam Peran KPI dan UU Penyiaran di Indonesia”.
Lebih lanjut, Arief menyebutkan contoh dari kurangnya regulasi pada konten-konten di media sosial. Di antaranya yaitu video podcast (baca: siniar) yang menampilkan orang-orang di dalamnya bebas merokok, meminum minuman keras, dan berkata kasar tanpa mempertimbangkan usia dan dampak kepada penontonnya. “Apabila di televisi, kita menayangkan hal-hal tersebut, tentu saja KPI akan mengeluarkan peringatan keras terkait dengan perizinan kami. Situasi itulah yang kami hadapi, bahwa kesempatan dan kesempatannya saja sudah tidak setara,” ujar Arief.
Di samping itu, Nuning Rodiyah selaku Komisaris Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menambahkan bahwa media mainstream, seperti televisi dan radio cenderung lebih lambat dibandingkan internet dalam memberikan berita atau informasi dikarenakan banyaknya regulasi yang harus dipatuhi. Hal tersebut dikarenakan perlunya kehati-hatian pihak media mainstream dalam penyaringan berita, sehingga validitas informasi yang disajikan dapat dipertanggungjawabkan keasliannya. “Pada data Edelman Trust tahun 2021, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media mainstream semakin meningkat karena masyarakat dalam beberapa kasus sempat terjebak oleh informasi-informasi hoaks terkait vaksin dan Covid-19. Sementara kami selaku KPI, hampir tidak pernah menemukan muatan hoaks di televisi dan radio,” jelas Nuning.
Kemudian dalam webinar tersebut, Nuning turut menjelaskan mengenai peran KPI saat ini selain mengawasi penyiaran televisi dan radio yaitu memastikan regulasi yang sudah mereka rumuskan sebagai regulator penyiaran agar tidak menghambat perkembangan industri televisi atau bahkan sampai kehilangan eksistensinya. Beberapa upaya yang KPI lakukan diantaranya adalah melakukan kerja sama dengan berbagai stakeholder (baca: pemangku kepentingan) penyiaran untuk meningkatkan kualitas konten yang disajikan media mainstream, dan melakukan sosialisasi literasi kepada masyarakat agar dapat memilih dan memilah program siaran dengan tepat.
Upaya lainnya disampaikan oleh Arief mengenai bagaimana usaha dari pihak industri media mainstream untuk mempertahankan eksistensi televisi di tengah ketatnya regulasi yang ada. “Saya selalu mengingatkan rekan-rekan agar tidak tergoda masuk ke zona dimana kita bebas melakukan segalanya hanya demi apa yang diinginkan pasar secara sesaat,” tutupnya. Dengan demikian, ia mengungkapkan bahwa hal yang diperhatikan oleh industri penyiaran pertelevisian adalah produk yang ditayangkan, integritas tim, dan juga ideologi dalam memproduksi.
Penulis: Ramadina Halimatus Sa’adiah
Editor: Ela Auliyana