Paradoks Kebebasan Berpendapat: Pembungkaman Hingga Kekerasan Terhadap Jurnalis

lpmindustria.com – Kebebasan pers diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 agar para jurnalis terjamin keamanannya. Namun, itu hanya berupa tulisan yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Faktanya, angka kekerasan terhadap jurnalis mengalami pelonjakan pada tahun ini.

Dalam webinar yang berjudul "Paradoks Kebebasan Berpendapat: Pembungkaman Hingga Kekerasan Terhadap Jurnalis", Sasmito Madrim selaku Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengatakan kebebasan pers terhadap jurnalis di Indonesia mengalami kemunduran. Hal ini dilihat dari indikator demokrasi Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) disebutkan indikator ancaman/penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah yang menghambat kebebasan berpendapat pada tahun 2019 mencapai angka 65,69 persen menjadi 58,82 persen di tahun 2020. Sedangkan indikator ancaman/penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berpendapat pada tahun 2019 mencapai angka 57,35 persen menurun menjadi 42,28 persen di tahun 2020.

Namun jika dilihat dari  data Indeks kemerdekaan pers yang dikutip dari Reporters Without Borders (RSF), lembaga pemantau media yang berkedudukan di prancis, Indonesia mengalami kenaikan peringkat yang asalnya berada di posisi 119 pada tahun 2019 menjadi di posisi 113 pada tahun 2020, sehingga kita lebih baik dari Singapura dan Timor Leste. Di sisi lain, data yang dicatat oleh AJI menunjukkan hal yang berbeda karena diambil dari setiap pemberitaan kekerasan yang terjadi yaitu terdapat peningkatan kekerasan terhadap jurnalis yakni sebanyak 84 kasus di tahun 2020 dan mengalami pelonjakan di bulan Mei tahun 2021 sebesar 90 kasus dan ironinya kasus kekerasan tersebut melonjak di kala pandemi yang dilakukan oleh pihak kepolisian.

Kemudian, dilanjutkan oleh Sasmito selaku ketua AJI terdapat jenis-jenis kekerasan terhadap pers di Indonesia yaitu berupa doxing atau menyebarluaskan informasi pribadi, peretasan, Distributed Denial of Service (Ddos) atau banjirnya jaringan internet oleh lalu lintas internet, dan pelabelan hoaks. Empat jenis kekerasan tersebut merupakan tren kekerasan yang sedang terjadi di kala pandemi. Tujuan dari ke empat jenis kekerasan tersebut yakni menjadi ancaman di lapangan, dan untuk mempermalukan pihak jurnalis agar tidak memberitakan suatu informasi yang tidak diinginkan.  Kemudian dituturkan kembali oleh Fatia selaku Koordinator komisi orang hilang dan tindak kekerasan (KONTRAS) bahwa tindakan kekerasan tidak terjadi pada pihak pers saja bahkan pada masyarakat sipil pun sering dirampas kebebasannya dalam berpendapat yaitu  tren kekerasan di tahun 1998 kini mulai terjadi kembali yaitu seperti penculikan, pembatasan terhadap ruang publik, ciber torture (baca: penyiksaan siber), extrajudicial killing (baca: pembunuhan diluar hukum), racial determination (baca: diskriminasi ras), dan restriction (baca: batasan).

Berdasarkan jenis-jenis kekerasan yang telah dijelaskan sebelumnya, Nibras Nada Nailufar selaku jurnalis Kompas menuturkan bahwa kekerasan terhadap jurnalis juga turut ia rasakan seperti halnya kasus pengeroyokan demonstran di JCC oleh pihak polisi, kejadian itu terjadi sore hari tanggal 26 September tahun 2019 di situ dia turut ikut terintimidasi yang berujung kekerasan terhadap jurnalis akibat merekam kejadian pengeroyokan tersebut. “Saat itu, telepon genggam saya yang berisikan video pengeroyokan direbut oleh pihak polisi dan saya juga di intimidasi agar menghapus video tersebut,” jelasnya. Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa kekerasan tersebut tidak hanya dirasakan oleh Nibras seorang tetapi jurnalis-jurnalis lainnya turut merasakan dampak dari kejadian tersebut ada yang dipatahkan alat-alat liputannya, ditendang, dan di sekitar area gedung kompas pun ikut terintimidasi dari kejadian tersebut.

Dengan adanya kasus kekerasan tersebut Sasmito selaku ketua AJI Indonesia pun ikut menuturkan kembali bahwa ada rekomendasi ke depannya yang dia pikir bisa dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat sipil untuk mengahadapi kasus tersebut yakni membuat kolaboras-kolaborasi yang baik antara masyarakat sipil. “Mulailah berpikir dan bertindak secara strategis karena kita sudah mulai lelah dengan demokrasi yang stagnan dan semakin mundur ini, sehingga kita perlu memikirkan hal-hal yang strategis untuk kita lakukan bersama ke depannya. Selain itu juga dalam hal ini masyarakat sipil dengan pemerintah dan DPR perlu membukakan ekosistem demokrasi yang lebih baik,” tuturnya.

Penulis: Siti Nina Ismayanti
Editor: Ela Auliyana

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *