Polemik Definisi Kata Perempuan dalam KBBI, Hingga Kini Belum Rampung

lpmindustria.com – Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menanggapi dan mengambil kebijakan terkait kontroversi arti kata 'perempuan'. Meskipun demikian, hal ini masih dianggap kurang dan memerlukan perbaikan dalam merepresentasikan perempuan yang tidak bias gender.

Sejak tahun 2018, kata ‘perempuan’ dalam KBBI telah menjadi sorotan masyarakat dan aktivis perempuan karena berkonotasi negatif. Dikutip dari akun Instagram @vantiani, Ika Vantiani selaku seorang seniman dan rekannya yang bernama Yolando Sianhaya membuat karya instalasi berjudul “Perempuan dalam Kamus Bahasa Indonesia” di Galeri Nasional pada Agustus 2018.

Pameran ini memperlihatkan kamus bahasa Indonesia dari berbagai edisi dalam displai kaca dan menggarisbawahi setiap kata ‘perempuan’ yang ada di dalamnya. Lalu pada 2020, ia menyampaikan pesan dari karyanya melalui kaos dalam rangka Woman’s March 2020 sekaligus sebagai pernyataan untuk menuntut digantinya penjelasan kata perempuan dalam KBBI.

Menanggapi persoalan tersebut, Tim Penyusun KBBI membuka suara pada 2 Februari 2021 melalui artikel “Tanggapan atas Kritik terhadap Entri Perempuan di KBBI” pada laman badanbahasa.kemindikbud.go.id. Ada dua hal yang dibahas dalam artikel tersebut. Pertama, alasan tim penyusun KBBI mendefinisikan perempuan dengan menyebutkan ciri-ciri fisik memang bertujuan untuk menjelaskan jenis kelamin. Selanjutnya, adanya subentri perempuan di KBBI yang berkonotasi negatif disebabkan oleh tingginya frekuensi penggunaan kata-kata tersebut.

Mereka juga menambahkan bahwa konotasi dan stigma perempuan yang negatif dapat dihilangkan, bukan dengan mengganti penjelasan entri tersebut di KBBI, melainkan dengan mengubah konotasi dan stigma masyarakat terhadap perempuan di tataran yang lebih tinggi. Selain memberikan tanggapan, Tim Penyusun KBBI juga telah mengganti contoh penggunaan kata ‘keperempuanan’, dari kalimat "Banyak tentara pendudukan yang melanggar keperempuanan wanita desa" menjadi "tak ada yang berhak melanggar keperempuanan seseorang dengan alasan apa pun" dalam KBBI daring pada April 2020.

Terkait progres yang sudah dilakukan Tim Penyusun KBBI, Ika merasa bahwa permasalahan ini masih belum selesai. Hal tersebut lantaran yang ia permasalahkan terkait penjelasan arti kata perempuan yang secara keseluruhan hanya melihat perempuan dari genitalianya (baca: alat kelamin) saja baik sebagai subyek, obyek maupun bagian dari reproduksi seolah perempuan hanya memiliki genitalia tanpa pikiran, hati dan elemen lain sebagai manusia.

Begitu pula mengenai entri negatif kata ‘perempuan’, Ika tidak meragukan bahwa kata-kata tersebut memang merupakan bagian dari percakapan masyarakat di Indonesia. “Dengan posisi KBBI yang sebenarnya memiliki kekuatan untuk menjadi salah satu yang berada di tataran lebih tinggi tersebut, mengapa mereka memilih untuk melanggengkan stigma tersebut?” ungkapnya.

Hal serupa pun disampaikan oleh Dian Septi selaku pengurus serikat buruh sekaligus aktivis buruh perempuan dari Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP). Perubahan pada definisi dan gabungan kata ‘perempuan’ dalam KBBI dapat berdampak negatif kepada pola pikir masyarakat. “Kamus Bahasa Indonesia itu kan rujukan formal bagi seluruh warga negara Indonesia termasuk untuk anak didik, sejak sekolah dasar. Pendidikan kita dalam Bahasa Indonesia merujuk ke sana, artinya dia harus memuat pendidikan yang edukatif dan tidak bias gender,” tutur Dian.

Mengutip dari situs Program Studi Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Yogyakarta, bias gender adalah kondisi memihak dan merugikan salah satu jenis kelamin. Dian pun melanjutkan bahwa bahasa itu mencerminkan budaya dan mengonstruksi budaya kita yang patriarki, tidak setara, misoginis (baca: orang yang membenci perempuan), menjadikan perempuan sebagai objek, sehingga hal tersebut bisa membentuk pikiran atau cara berpikir anak-anak.

Selain itu, Dian juga menyayangkan Tim Penyusun KBBI yang tidak melakukan perubahan pada definisi ‘perempuan’. “Ini menggambarkan konstruksi pada budaya masyarakat yang mempunyai standar bahwa perempuan itu adalah yang hamil, melahirkan, dan menyusui. Lantas, bagaimana dengan teman-teman yang tidak memiliki vagina, tapi dia perempuan atau dia merasa dirinya perempuan. Itu mau dikategorikan perempuan atau bukan?” ucap Dian.

Dian berharap nantinya seluruh masyarakat Indonesia dapat menjalankan perannya masing-masing dalam mengarusutamakan gender. Begitu pula untuk Tim Penyusun KBBI seharusnya tidak anti kritik dan mau terbuka untuk dievaluasi secara publik. “Undanglah teman-teman feminis dan ahli gender untuk merumuskan bersama-sama. Tidak bermaksud untuk mengintervensi, tetapi kekuatan pengetahuan itu ada ketika kita bisa saling bertemu dan berbagi karena setiap orang mempunyai pengalamannya masing-masing dalam belajar juga dalam bergulat dengan pengetahuannya,” harap Dian.

Penulis : Ramadina Halimatus Sa'diah
Editor : Ela Auliyana

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *