lpmindustria.com –
Hsst hsst hsst hsst hsst
Hembusan angin pagi nampak mulai bercengkrama dengan sang mentari pagi ini. Bagaimana tidak, angin akan selalu memasuki sela-sela selimut yang sudah tak karuan dengan tingkah laku tidurku. Pikiranku masih belum berkumpul, seakan raga dan jasmaniku terpisah puluhan meter jauhnya. Mataku pun masih sangat berat untuk kubuka melihat semesta kali ini.
“Ya, ampun! Apakah kau tidak mendengar suara klakson kapal itu Aidit?” teriak ayah dari lantai dasar.
“Iya ayah, aku sudah terbangun ini,” jawab ku agak sedikit kesal.
Dengan rasa yang sangat malas tuk beranjak dari kasur lantaiku, akhirnya dipaksa bangkit untuk memenuhi rutinitas. Aku tinggal di dermaga kapal. Setiap pagi selalu disungguhkan dengan suara khasnya, yang selalu dijadikan senjata ayah untuk membangunkanku. Padahal, diriku lebih sering terbangun oleh hembusan angin pagi. Meskipun begitu, ayah tetaplah yang terbaik setelah kepergian ibu yang dijemput oleh Sang Khalik.
Aku adalah anak satu-satunya dari keluargaku. Kami tinggal hanya berdua pada sebuah tempat kecil yang bisa dikatakan sebagai tower penjaga dermaga. Tak ada kemewahan dalam hidup, karena ayahku hanya bekerja sebagai nahkoda kapal pengangkut barang di pelabuhan.
Pagi ini ku arungi seperti biasa, bersiap bersekolah serta membantu ayah menaikan barang-barang yang hari ini siap untuk diantar keseluruh penjuru kota. Diriku memasuki sekolah baru setelah kepindahan kesekian kalinya dari sekolah terdahulu. Kepindahan kali ini, bukan karena diriku termasuk siswa yang nakal atau semacamnya. Melainkan, menyesuaikan pekerjaan ayah yang selalu berpindah-pindah tempat kerja. Letak sekolahku kini berada diseberang pulau yang searah dengan jalur perjalanan kapal ayah.
Perjalanan antar pulau dengan kapal pun dimulai. Di atas kapal, ku melihat cahaya mentari yang menembus pada awan kapas di langit. Sang mentari memang selalu membuatku terhempas ke dalam nuansa alam yang sedari tadi belum ku temui, karena diriku berangkat pagi buta tadi. Semakin tersentuh ketika burung terbang beriringan menyusuri khatulistiwa negeri. Terpampang jelas karya seni yang tidak dapat dibuat oleh makhluk sepertiku. Karya tersebut dibuat oleh zat yang juga menuangkan idenya kedalam diriku ini.
“Dalam keadaan apa pun, dimana pun, dan kapan pun diriku akan tetap melihat keindahan ini sebagai bentuk penghormatan kepadanya, sang pencipta,” janjiku dalam hati.
*****
“Aidit kita sudah sampai di dermaga! Cepatlah turun dan jangan ada barang sekolahmu yang tertinggal,” tutur ayah.
“Ahh hmm, baiklah ayah,” jawabku kaget sambil bergegas turun dari kapal yang tidak terasa sudah sampai akibat diriku melamun tadi.
Berlari sekuat tenaga melewati kayu-kayu yang digunakan sebagai penghubung antara bersandarnya kapal dengan jalan utama dermaga. Sesekali ku melihat jam tanganku yang mengisyaratkan waktu tinggal 15 menit lagi waktu masuk sekolah.
Dugg, brakk
Aku berdegup, tergeletak tiba-tiba seakan menabrak sesuatu, namun tak berani kubuka mata ini. Kemudian, desahan suara menyambar telingaku, membuat nuansa kala itu kupikir mencekam. Kutolehkan pandanganku sambil mencari dari mana sumber suara tersebut dan benar saja, diriku baru saja menabrak wanita yang kupikir seumuran dengan ku. Dihadapannya kudapati banyak barang belanjaan yang tergeletak karena ulahku.
“Maaf maaf, aku tidak sengaja,” ucapku sambil membantu merapikan belanjaanya.
“Hmm tidak apa-apa sudah biarkan, saya saja yang merapikannya,” jawabnya sambil tertunduk kepalanya.
Setelah semuanya selesai dirapihkan bersama. Diriku mencoba memberanikan diri untuk mendekat, bermaksud memastikan keadaanya. Namun, ia masih saja menundukan kepalanya yang kupikir dia memiliki sifat pemalu. Benar saja, sampai kami beristirahat sejenak di kursi yang ada diseberang dan ditemani keindahan dermaga, dia masih saja tidak mencoba menatap kearahku.
Beberapa menit kemudian, diriku disadari lagi oleh jam tanganku yang berbunyi karena telah ku atur untuk mengingatkan waktu sisa sampai sekolah. Kami berdua akhirnya saling berpamitan tanpa meninggalkan kesan ataupun nama satu sama lain. Terlintas dalam pikiranku, mungkin saja kejadian tadi sudah meninggalkan kesan yang buruk baginya. Hanya sebatas kata permintaan maaf dan selamat tinggal yang kutitipkan kepadanya.
Setelah pulang sekolah, diriku kembali ke dermaga untuk menunggu penjemputan kapal ayah. Kali ini penjemputannya sedikit lama dari waktu yang telah disepakati antara kami berdua. Sambil menunggu kedatangan kapal, diriku dihadapkan kepada senja sore yang tidak kalah dramatisnya dengan pagi tadi. Langit-langit berwarna kuning yang ditaburi oleh awan yang mulai menampakan bayangan hitamnya serta mentari yang hanya sebatas mengintip seakan menandakan perpisahan dua waktu.
Sekelilingku hanya rumah-rumah yang menghadap ke laut. Tiang lampu yang menjulur tinggi, sebagian telah menyala untuk menerangi sekitarnya. Tak lama kemudian, kudapati bayang wanita yang sedang berjalan kearahku, semakin jelas bentuknya dan sontak saja diriku ketika wanita tersebut sudah jelas dihadapanku. Wanita tersebut ialah yang kutemui tadi pagi, yang telah kubuat kesan buruk kepadanya. Kali ini ia menampakan wajahnya yang membuat diriku terhipnotis melihatnya. Matanya yang coklat melambangkan kesenduan dirinya, rambutnya pun terurai sampai lengannya, menciptakan sentuhan magis dalam kalbu. Lagi, ia membuatku terbuai dalam lamunan senja perpisahan di dermaga.
Aditya