lpmindustria.com – You Only Live Once (YOLO) merupakan gaya hidup milenial yang bermakna untuk menikmati hidup. Namun, banyak orang yang menyalahartikannya hingga menimbulkan berbagai dampak negatif, salah satunya pada finansial.
Kata YOLO secara harfiah dapat diterjemahkan menjadi “Anda hanya hidup sekali”, kata ini biasanya digunakan sebagai bahasa slang di Amerika dan banyak dijumpai di media sosial. Berdasarkan kamus daring Oxford, kata ini biasanya digunakan untuk mengatakan bahwa seseorang harus mengambil setiap kesempatan untuk menikmati kehidupan ataupun memaafkan sesuatu yang bodoh yang telah dilakukan.
Menurut Ajeng Raviando sebagai seorang psikolog, YOLO sendiri mengandung makna yang positif. “Orang pada zaman dahulu cenderung menunggu sampai mereka yakin dengan sesuatu yang diinginkan. Hal tersebut berbeda dengan saat ini, para remaja tergerak untuk langsung melakukan yang diinginkannya,” terangnya yang dilansir dari Kumparan.com.
Daisy Indira Yasmine selaku sosiolog dari Universitas Indonesia berpendapat bahwa prinsip YOLO mudah diterima di Indonesia karena didukung oleh iklim sosial politik yang demokratis. “Ditambah lagi, negara kita memiliki aspek budaya komunal yang kental dalam budaya Timur. Aspek budaya komunal pada satu sisi sangat mendukung jejaring dan keterhubungan antar manusia, khususnya netizen, yang kemudian membentuk keterbukaan,” ujarnya pada laman Femina.co.id.
Selain itu, psikolog Tara de Thouars dari Sanatorium Dharmawangsa mengatakan jika orang pada rentang usia 18-35 tahun memiliki tiga kebutuhan penting, yaitu jati diri, karier, dan support system. “Ketiganya saling terkait untuk membangun makna pada diri seseorang dan merupakan unsur yang saling menguatkan manusia pada usia produktif,” ungkapnya. Tara juga turut menyampaikan bahwa YOLO merupakan bagian dari identitas yang membuat generasi milenial merasa menjadi bagian penting dari generasinya.
Dikutip pada halaman Tirto.id, Prita Ghozie sebagai CEO Zap Finance, perusahaan perencanaan finansial, mengungkapkan bahwa banyak generasi milenial Indonesia terkena dampak slogan YOLO yang memengaruhi sisi ekonomi dan psikologisnya. “Kecenderungan yang muncul adalah mereka akan menjadi konsumtif dan mengutamakan pengeluaran untuk kegiatan yang sifatnya pengalaman. Contohnya adalah travelling, experienced buying, dan lain-lain,” ujarnya.
Seperti yang diwartakan dalam Kompas.com, kondisi pandemi saat ini membuat masyarakat menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah, sehingga mendorong timbulnya perilaku konsumtif. “Kalau dulu Work From Office, kesempatan melihat etalase online market relatif terbatas. Akan tetapi, saat ini terjadi perkembangan yang pesat pada aktivitas digital ekonomi yang memanfaatkan berbagai platform online market,” tutur Wisnu Wibowo selaku dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga.
Oleh sebab itu dibutuhkan penanggulangan dampak dari kesalahan penafsiran gaya hidup tersebut. “Poin penting untuk mengatasi finansial sindrom YOLO yaitu dengan membenarkan mindset kita terlebih dahulu dan mencoba berpikir untuk ke depannya, seperti menyiapkan investasi, menabung, dan mengubah gaya hidup, sehingga literasinya itu ditingkatkan lagi,” ungkap Syafirah Alhadar selaku Independent Financial Adviser of Jouska Indonesia dalam akun Youtube CNBC Indonesia. Ia juga menyarankan apabila seseorang penganut sindrom YOLO sudah terjerumus dengan hutang finansial, sebaiknya ia menyelesaikan hutangnya terlebih dahulu untuk memperbaiki keadaan finansialnya.
Penulis: Mutiah Kusuma Sari
Editor: Silvia Andini