Insinerator di FPSA Tebet, Upaya Penanganan Sampah di DKI Jakarta

lpmindustria.com – TPST Bantargebang diperkirakan dalam waktu dekat akan mencapai kapasitas maksimum. Oleh sebab itu, pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana membangun FPSA di Tebet. Namun, rencana tersebut menuai pro dan kontra.

Dikutip dari Antaranews.com, Wakil Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Ahmad Riza Patria memastikan, FPSA tanpa polusi akan dibangun di Tebet, Jakarta Selatan. Di dalam tulisan tersebut, Riza menyebutkan bahwa Fasilitas Pengolahan Sampah Antara (FPSA) akan menggunakan teknologi berskala mikro, sehingga tidak menimbulkan pencemaran. “Jangan diartikan seperti membakar sampah di rumah, pembakaran sampah ini menggunakan teknologi berskala mikro kecil,” lanjutnya. (10/8/21) Pada laman yang sama, sebelumnya, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Syaripudin, menjelaskan bahwa teknologi yang dimaksud adalah insinerator.

Adapun insinerator ini, sebagaimana yang tertulis di balitbang.magelangkota.go.id, merupakan sebuah alat insinerasi atau pembakaran sampah. Insinerasi diartikan sebagai teknologi pengolahan sampah yang melibatkan pembakaran bahan organik.

Menurut e-journal yang diterbitkan oleh bppt.go.id dengan judul “Insinerasi untuk Pengolahan Sampah Kota”, sampah yang akan diolah harus masuk tahap penyortiran terlebih dahulu. Setelah itu, sampah bisa masuk ke dalam insinerator untuk melalui proses pembakaran. Pada proses pembakaran sampah terdapat beberapa sistem insinerator yang digunakan, antara lain moving grate incinerator, rotary incinerator, dan fluidized bed incinerator.

Di jurnal elektronik tersebut disebutkan, bahwa di antara kegiatan sistem insinerator yang paling banyak digunakan untuk proses insinerasi sampah adalah moving grate incinerator. Berdasarkan materi yang dipublikasi enviro.bppt.go.id, ini ialah sistem pembakaran sampah masal. Selanjutnya dalam jurnal itu dituliskan, kemampuan pembakarannya dapat mengakomodasi variasi yang beda dalam komposisi dan nilai kalor sampah, serta tungku dapat dibangun hingga kapasitas 1.200 ton/hari.

Setelah sampah masuk ke sistem insinerasi yang bersuhu tinggi yaitu di atas 850 derajat Celsius, insinerator akan menghasilkan energi panas. Kemudian disadur dari jurnal bppt.go.id, energi panas ini akan terbawa keluar oleh flue gas (baca: udara sisa pembakaran) untuk selanjutnya di-recovery (baca: pemulihan ulang) menggunakan boiler (baca: ketel). Hasil energi recovery itulah yang pada akhirnya dimanfaatkan untuk distribusi energi. Berdasarkan tulisan yang dipublikasi di balitbang.magelangkota.go.id, recovery gas tersebut menjadi sebuah keharusan. Hal ini dikarenakan gas yang dihasilkan dari proses insinerasi mengandung polutan.

Terkait dengan beberapa hal di atas, muatan Antaranews.com menuliskan bahwa Riza mengatakan penggunaan insinerator menjadi salah satu upaya untuk menangani sampah. “Penggunaan insinerator pada FPSA di Tebet merupakan salah satu strategi penanganan sampah dengan penerapan sampah yang ramah lingkungan dan tepat guna,” katanya.

Lebih lanjut di laman tersebut, langkah itu dilakukan mengingat Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang sebagai satu-satunya tempat pemrosesan akhir sampah diperkirakan dalam waktu dekat akan mencapai kapasitas maksimum sehingga tidak dapat menerima lagi. Sebagai informasi, data per Juli 2019 menyebutkan, ketinggian sampah di TPST Bantargebang sudah mencapai 43-48 meter dari batasan maksimal 50 meter.

Kendati demikian, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menolak penggunaan insinerator pada FPSA di Tebet. Melalui siaran pers yang diterbitkan di lamannya, penolakan tersebut didasari oleh beberapa alasan. Pertama, proyek pengelolaan sampah dengan cara membakar sampah menggunakan insinerator ini tidak terdapat dalam kebijakan dan strategi daerah dalam pengolahan sampah rumah tangga serta sejenis rumah tangga. Selanjutnya, proyek ini berdekatan langsung dengan pemukiman, sehingga berpotensi menambah beban pencemaran udara berada di area publik atau taman, terlebih lagi di tengah situasi beban pencemaran udara Jakarta yang tinggi.

Sebagaimana yang tertulis di laman Walhi Jakarta, FPSA dengan teknologi insinerator ini juga bertentangan dengan Peraturan Daerah (Perda) No. 4 tahun 2019. Hal tersebut disebabkan itu tidak memperhatikan aspek sosial dan tidak tepat dalam pengelolaan sampah.

Tanggapan yang sama disampaikan oleh Greenpeace Indonesia sebagai salah satu organisasi kampanye lingkungan. Pada diskusi yang diselenggarakan Greenpeace di Instagram-nya, Satrio Swandiko selaku Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace menuturkan bahwa penggunaan insinerator ini memiliki dampak buruk terhadap lingkungan. “Pada dasarnya insinerator adalah suatu alat untuk membakar, baik pengelolaannya dibakar untuk menjadi listrik maupun hanya dibakar saja. Setiap pembakaran tetap saja akan menimbulkan polusi,” tuturnya.

Penulis: Affifah Nasrillah
Editor: Ela Auliyana

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *