lpmindustria.com – Jurnalis ditugaskan untuk mengungkap kejahatan-kejahatan publik dan sebagai pejuang Hak Asasi Manusia (HAM), namun ini sering mengancam keselamatan mereka. Dengan adanya Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 diharapkan kebebasan pers dapat diterima oleh seluruh jurnalis.
Dilansir dari laman aji.or.id, di Surabaya pada Sabtu (27/3) telah terjadi kekerasan terhadap salah satu jurnalis Tempo yang bernama Nurhadi. Hal tersebut didapatkannya saat melakukan reportase terkait kasus suap yang dilakukan oleh Direktur Pemeriksaan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Angin Prayitno Aji. Tepat pada pukul 18.40, ia melakukan investigasi serta memotret Prayitno yang sedang berada di pelaminan Gedung Bumimoro bersama besannya.
Namun pada pukul 20.00 ketika Nurhadi hendak keluar dari gedung, ia dihentikan oleh beberapa panitia yang menanyakan identitas dan undangan miliknya. Proses konfirmasi terkait identitas Nurhadi kepada pihak mempelai berlangsung cukup sengit, hingga timbul tindakan perampasan telepon genggam oleh keluarga mempelai perempuan. Selanjutnya, Nurhadi pun turut di interogasi oleh beberapa orang yang mengaku polisi dan ajudan Prayitno usai dimintai keterangan di pos Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sepanjang proses interogasi, Nurhadi mengalami kekerasan dengan cara dipukul, ditendang, ditampar, diancam untuk dibunuh, hingga perusakan alat liputan. Tak hanya itu, ia juga sempat dipaksa untuk menerima uang kompensasi sebesar Rp600.000, namun ia menolak. Akan tetapi, pelaku terus memaksa hingga memotretnya saat menerima uang tersebut. Uang itu pun disembunyikan Nurhadi di salah satu bagian mobil. Setelah selesai melakukan interogasi, pukul 22.25, Nurhadi dibawa ke Hotel Arcadia untuk kembali diinterogasi oleh dua orang yang mengaku anggota Kepolisian Polres Kota Besar (Polrestabes) dan anak asuh Komisaris Besar Polisi Achmad Yani yang bernama Purwanto dan Firman. Esoknya, Nurhadi diantarkan pulang hingga tiba di rumah.
Dalam wawancara kami pada kamis 15 April 2021 dengan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Eben Haezer menjelaskan bahwa kejadian tersebut sudah melanggar regulasi yang terdapat dalam KUHP Pasal 351 Ayat 1 tentang Penganiayaan, Pasal 170 tentang Pengeroyokan, serta Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999. Selain itu, Eben Haezer mengatakan yang akan diperjuangkan tidak hanya pelakunya saja, tetapi juga siapa pun yang mendalangi kejadian ini akan ditangkap. Walaupun salah satu pelakunya adalah oknum kepolisian, kasus ini akan terus diusut ke pengadilan. “Kami melihat ada aktor intelektualnya dan berharap semua itu ditangkap serta diadili,” tutur Eben Haezer selaku Ketua Aliansi Jurnalis Independen Surabaya.
Kemudian, Eben membeberkan bahwa kasus ini sudah sampai tahap penyelidikan dan ada beberapa orang yang diperiksa, seperti Firman, Purwanto, Heru yang merupakan anggota kepolisian dan Nurhadi sendiri. “Saya pun juga sudah di periksa serta dimintai keterangan beberapa waktu yang lalu dan dewan pers pun juga turut dimintai pendapat,” ungkap Eben.
Selain itu, Eben juga meluruskan bahwa dalam hasil penyelidikan tidak ada tindakan kekerasan yang dilakukan TNI. Hal tersebut dikarenakan mereka hanya mengamankan untuk memeriksa identitas Nurhadi sebagai mekanisme yang berlaku di markas TNI terdekat dari tempat kejadian berlangsung. Eben juga menegaskan bahwa ia masih menunggu langkah apa saja yang akan dilakukan dari kepolisian “Tinggal tunggu saja mereka ditetapkan menjadi tersangka dan kami menghargai proses yang dijalankan polisi, jadi kami tidak ingin terburu-buru yang penting semua pelaku diusut tuntas,” tegasnya.
Menurutnya, kejadian ini bukan hanya teror bagi Nurhadi saja, melainkan juga bagi seluruh anggota pers di Indonesia. Ini dikarenakan kerja-kerja jurnalis yang diharapkan mampu mengungkap kejahatan-kejahatan publik yang akan mengancam kekerasan terjadi di mana, kapan, dan oleh siapa saja, tidak peduli dari organisasi mana pun. Dalam kejadian ini juga tidak hanya masalah Tempo atau Aji saja, tetapi juga seluruh pers di Indonesia.
Eben pun berharap agar kasus ini tidak berhenti di media perdamaian saja, tetapi berlanjut sampai ke persidangan dan menerapkan undang-undang pers. Dengan demikian ke depannya, kasus Nurhadi ini sebagai contoh untuk penyelidikan kepolisian agar terus menerapkan undang-undang pers. Ia juga menambahkan bahwa kerja jurnalis merupakan pejuang hak asasi manusia. “Bukan hanya sebagai penyedia informasi saja, tetapi juga sebagai pejuang-pejuang hak asasi manusia, sehingga upaya pencegahannya harus ada,” tutupnya.
Penulis: Silvia Andini
Editor: Ela Auliyana