lpmindustria.com – Banyaknya kasus kekerasan dan ketidakadilan gender terhadap perempuan, membuat para perempuan di Indonesia mulai menyuarakan pendapatnya. Namun, tidak sedikit dari perempuan yang masing enggan mengungkapkannya.
Konfrensi Pers yang diadakan oleh Komisi Nasional Perempuan tanggal 25 November 2018 lalu, menyatakan tanggal tersebut sebagai hari dimulainya Kampanye Global 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh banyaknya kekerasan terhadap perempuan baik di Indonesia maupun di dunia. Survei Badan Pusat Statistik pada tahun 2017 menunjukan bahwa satu dari tiga perempuan usia 15-64 tahun di Indonesia pernah menjadi korban kekerasan baik itu kekerasan fisik, seksual, hingga pembunuhan. Kekerasan juga terjadi di areal publik, area privat, di dalam keluarga, bahkan di dunia maya. Pelaku kekerasan terhadap perempuan juga beragam, mulai dari orang asing, orang terdekat, hingga aparatur negara.
Melihat banyaknya kasus kekerasan dan ketidakadilan gender terhadap perempuan, membuat para perempuan di Indonesia mulai menyuarakan pendapatnya. “Perempuan di Indonesia saat ini juga mulai bersuara untuk menghentikan kekerasan seksual tanpa toleransi. Salah satu contoh gerakan yang dilakukan adalah kampanye yang dilakukan di social media dengan tagar hearmetoo,” ujar Marissa Anita Senior anchor NET.TV pada acara Diskusi Saya dan Keadilan. Marissa juga mengatakan bahwa 93% penyintas kekerasan seksual tidak melaporkan kekerasan yang dia alami, 72% penyintas kekerasan seksual tidak pernah bercerita atau menceritakan kekerasan yang dialaminya kepada siapapun.
Keterbungkaman korban kekerasan pada perempuan didukung karena adanya ketakutan permasalahan yang dialami perempuan saat melakukan pelaporan. “Dalam pengadilan terkadang korban juga disalahkan dan terdapat beberapa masalah. Masalah pertama yaitu aparat penegak hukum belum memiliki prespektif gender. Kemudian, perempuan yang menjadi korban seringkali mengalami beban ganda dan reviktimisasi. Ketiga, perempuan korban diperiksa dan dihadiri terdakwa sehingga membuat korban takut untuk memberkan kesaksian. Keempat, norma hukum acara pidana yang masih berorientasi kepada hak-hak tersangka dan terdakwa. Dan yang terakhir yaitu, tidak didampinginya perempuan yang menjadi korban kekerasan pada proses penegakan hukum,” ungkap Albertina Ho Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Medan.
Disisi lain pembuatan produk hukum untuk mengurangi kekerasan terhadap perempuan masih terus diupayakan. Salah satu lembaga yang ikut dalam mengupayakan pembuatan produk hukum itu adalah Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK). “Dalam proses perjuangan kita sudah diupayakan sejak reformasi yaitu dengan membuka lebih banyak peluang terciptanya produk hukum, dan berbagai kebijakan yang lebih memberikan perlindungan kepada kaum perempuan di Indonesia,” jelas Ratna Bantara Munti selaku Pengurus Asosiasi LBH APIK Indonesia.
Hingga saat ini sudah ada beberapa undang-undang pro perempuan yang berhasil disahkan. “Sekarang kita sudah punya undang-undang perlindungan kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT. Undang-undang tahun 2006 di mana seorang ibu yang memiliki anak berkewarganegaraan ganda, ibu tersebut dimudahkan hanya perlu mengurus kewarganegaraan anaknya ketika berusia 18 tahun. Selain itu terdapat undang-undang perlindungan saksi dan korban KDRT dan kekerasan seksual. Kemudian ada undang-undang tahun 2007 mengenai tindak pidana penjualan orang dan undang-undang kesehatan yang dulunya belum punya bab kesehatan reproduksi, saat ini kita memiliki pengaturan kesehatan reproduksi,” tutur Ratna.
Meskipun sudah adanya undang-undang yang pro terhadap perempuan, dirasa masih kurang. Hal itu karena dalam implementasi undang-undang yang ada masih belum maksimal. Oleh karena itu, sangatlah penting dukungan dari sistem peradilan dan juga masyarakat sekitar. “Jadi masalah gender itu juga erat kaitannya dengan persoalan politik dan banyak hal lainnya. LBH APIK tidak bisa sendiri maka kita juga harus berjejaring untuk terus memperjuangkan keadilan gender dan mengurangi kekerasan seksual,” harap Ratna.
Krisdiastuti