lpmindustria.com – Di era yang dipenuhi gaya hidup mewah, semakin banyak orang menyadari bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari materi. Voluntary Simplicity membuka jalan menuju hidup lebih tenang dan berarti
Di era modern ini, banyak orang mulai mempertanyakan apakah kebahagiaan benar-benar berasal dari kepemilikan materi yang berlimpah. Banyak orang terbebani oleh tuntutan sosial untuk mengejar materi. Salah satu alternatif yang semakin banyak diadopsi adalah gaya hidup Voluntary Simplicity, yaitu kesederhanaan yang dipilih secara sadar dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup. Konsep ini menekankan hidup sederhana, tetapi tetap merasa cukup dan bahagia.
Menerapkan gaya hidup ini membawa berbagai dampak positif. Secara finansial, seseorang dapat lebih mengontrol pengeluaran dan mengalokasikan dana untuk hal-hal yang lebih bermakna. Dari segi mental dan emosional, hidup sederhana mengurangi stres karena tidak terbebani oleh keinginan yang tidak perlu.
Kak Nina, seorang pekerja di Jakarta yang telah menjalani gaya hidup ini berbagi pengalamannya, “Pertama harus melepaskan kebiasaan konsumtif dulu dengan mengubah pola pikir tentang apa itu kebutuhan dan keinginan. Contohnya sebagai saya anak kos, saya lebih memilih menggunakan fasilitas-fasilitas umum seperti menggunakan transportasi umum Transjakarta atau kalau memang jarak tempuhnya masih terjangkau saya milih jalan kaki seperti itu, kalau di Jakarta ini khususnya ya.” ungkapnya.
Namun, ada tantangan tersendiri dalam menjalani gaya hidup ini. Salah satunya adalah kehilangan rasa kesenangan atau kepuasan. Kak Nina mengakui bahwa ada saat di mana ia merasa kehilangan sesuatu karena membatasi sesuatu. “Karena kita merasa, kayaknya punya barang tersebut akan lebih keren namun seiring berjalannya waktu ketika saya memutuskan untuk tidak membeli barang tersebut ternyata saya tidak merasa kehilangan apapun, itu menandakan bahwa barang tersebut belum tentu memberi hal yang positif ke depannya bagi saya jadi kadang-kadang hanya perasaan kita saja terhadap barang tersebut.” Ujarnya.
Meski bermanfaat, tidak semua orang mudah menerapkannya. Salah satu tantangan terbesar adalah tekanan sosial yang menganggap kepemilikan materi sebagai tolak ukur kesuksesan. Selain itu, pengaruh iklan dan media sosial yang terus mendorong konsumsi juga menjadi hambatan dalam mempertahankan kesederhanaan.
Menurut Ibu Anis, seorang guru Bimbingan Konseling (BK) di salah satu SMA sekaligus lulusan Jurusan Psikologi, konsep Voluntary Simplicity cukup relevan di Indonesia terutama bagi mereka yang telah memenuhi kebutuhan dasar dan ingin menjalani hidup lebih seimbang. Gaya hidup ini lebih mudah diterapkan oleh mereka yang tidak lagi mengejar kebutuhan pokok.
”Di Indonesia, banyak orang masih fokus meningkatkan taraf hidupnya dahulu,” ungkapnya. Beliau juga menambahkan bahwa budaya konsumtif dan fenomena Fear of Missing Out (FOMO) sering menjadi penghambat, terutama di kalangan generasi muda yang terpengaruh media sosial.
Di sisi lain, budaya Indonesia memiliki nilai yang mendukung gaya hidup ini. “Indonesia lebih dekat ke konsep Voluntary Simplicity. Dari dulu, kita diajarkan hidup sederhana, secukupnya, dan nggak berlebihan. Tetapi karena kondisi ekonomi yang bertolak belakang, banyak orang yang akhirnya kesulitan untuk menerapkannya.” Ungkap Ibu Anis.Voluntary Simplicity adalah pilihan hidup gaya hidup sederhana yang dapat meningkatkan kesejahteraan finansial dan emosional. Namun, tantangan seperti tekanan sosial dan kebiasaan konsumtif membuatnya sulit diterapkan. Meski begitu, nilai kesederhanaan telah lama menjadi bagian dari budaya Indonesia, dan keputusan untuk menjalankannya kembali pada kesadaran masing-masing individu.
Penulis : Febriany Akhwatul H.
Editor : Gita Mega Putri S.